Tampilkan postingan dengan label Hukum Dan Hadist. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Dan Hadist. Tampilkan semua postingan

Hadis Muthahharah


Hadis Muthahharah
Dari Sayyidina Khalid bin Al-Walid Radiallahu’anhu telah berkata : Telah datang seorang arab desa kepada Rasulullah S.A.W yang mana dia menyatakan tujuannya : Wahai Rasulullah! sesungguhnya kedatanganku ini adalah untuk bertanya kepada engkau mengenai apa yang akan menyempurnakan diriku di dunia dan akhirat. Maka baginda S.A.W telah berkata kepadanya Tanyalah apa yang engkau kehendaki :
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang alim. Baginda S.A.W menjawab : Takutlah kepada Allah maka engkau akan jadi orang yang alim
Dia berkata : Aku mau menjadi orang paling kaya. Baginda S.A.W menjawab : Jadilah orang yang yakin pada diri engkau maka engkau akan jadi orang paling kaya
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang adil. Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah manusia yang lain sebagaimana engkau kasih pada diri sendiri maka jadilah engkau seadil-adil manusia
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang paling baik. Baginda S.A.W menjawab: Jadilah orang yang berguna kepada masyarakat maka engkau akan jadi sebaik-baik manusia
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang istimewa di sisi Allah. Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan zikrullah nescaya engkau akan jadi orang istimewa di sisi Allah
Dia berkata : Aku mau disempurnakan imanku. Baginda S.A.W menjawab : Perelokkan akhlakmu niscaya imanmu akan sempurna
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan orang yang muhsinin (baik). Baginda S.A.W menjawab : Beribadatlah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya dan jika engkau tidak merasa begitu sekurangnya engkau yakin Dia tetap melihat engkau maka dengan cara ini engkau akan termasuk golongan muhsinin
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang taat. Baginda S.A.W menjawab : Tunaikan segala kewajipan yang difardhukan maka engkau akan termasuk dalam golongan mereka yang taat
Dia berkata : Aku mau berjumpa Allah dalan keadaan bersih daripada dosa. Baginda S.A.W menjawab : Bersihkan dirimu daripada najis dosa nescaya engkau akan menemui Allah dalam keadaan suci daripada dosa
Dia berkata : Aku mau dihimpun pada hari qiamat di bawah cahaya. Baginda S.A.W menjawab : Jangan menzalimi seseorang maka engkau akan dihitung pada hari qiamat di bawah cahaya
Dia berkata : Aku mau dikasihi oleh Allah pada hari qiamat. Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah dirimu dan kasihanilah orang lain nescaya Allah akan mengasihanimu pada hari qiamat
Dia berkata : Aku mau dihapuskan segala dosaku. Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan beristighfar nescaya akan dihapuskan( kurangkan ) segala dosamu
Dia berkata : Aku mau menjadi semulia-mulia manusia. Baginda S.A.W menjawab : Jangan mengesyaki sesuatu perkara pada orang lain nescaya engkau akan jadi semulia-mulia manusia
Dia berkata : Aku mau menjadi segagah-gagah manusia. Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa menyerah diri (tawakkal) kepada Allah nescaya engkau akan jadi segagah-gagah manusia
Dia berkata : Aku mau dimurahkan rezeki oleh Allah. Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa berada dalam keadaan bersih ( dari hadas ) nescaya Allah akan memurahkan rezeki kepadamu
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang dikasihi oleh Allah dan rasulNya. Baginda S.A.W menjawab : Cintailah segala apa yang disukai oleh Allah dan rasulNya maka engkau termasuk dalam golongan yang dicintai oleh Mereka
Dia berkata : Aku mau diselamatkan dari kemurkaan Allah pada hari qiamat. Baginda S.A.W menjawab : Jangan marah kepada orang lain nescaya engkau akan terselamat daripada kemurkaan Allah dan rasulNya
Dia berkata : Aku mau diterima segala permohonanku. Baginda S.A.W menjawab : Jauhilah makanan haram nescaya segala permohonanmu akan diterimaNya
Dia berkata : Aku mau agar Allah menutupkan segala keaibanku pada hari qiamat. Baginda S.A.W menjawab : Tutuplah keburukan orang lain nescaya Allah akan menutup keaibanmu pada hari qiamat
Dia berkata : Siapa yang terselamat daripada dosa? Baginda S.A.W menjawab : Orang yang sentiasa mengalir air mata penyesalan,mereka yang tunduk pada kehendakNya dan mereka yang ditimpa kesakitan
Dia berkata : Apakah sebesar-besar kebaikan di sisi Allah? Baginda S.A.W menjawab : Elok budi pekerti, rendah diri dan sabar dengan ujian ( bala )
Dia berkata : Apakah sebesar-besar kejahatan di sisi Allah? Baginda S.A.W menjawab : Buruk akhlak dan sedikit ketaatan
Dia berkata : Apakah yang meredakan kemurkaan Allah di dunia dan akhirat ? Baginda S.A.W menjawab : Sedekah dalam keadaan sembunyi ( tidak diketahui ) dan menghubungkan kasih sayang
Dia berkata: Apakah yang akan memadamkan api neraka pada hari qiamat? Baginda S.A.W menjawab : sabar di dunia dengan bala dan musibah.
***
Selanjutnya...... - Hadis Muthahharah

Bulughul Maram (1) : Hukum Air Laut

Pelajaran
KITAB BULUGHUL MARAM
Karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah

Disusun oleh :

Tim thullab Ma’had As-Salafy Jember

Muqaddimah Al-Hafizh Ibnu Hajar

Segala puji khusus bagi Allah atas segala kenikmatan-Nya yang zhahir (terlihat) maupun yang bathin (tidak tampak), baik dulu maupun sekarang. Shalat dan salam kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau yang membela agama beliau dengan pembelaan yang sangat besar. Juga shalat dan salam kepada para pengikut mereka yang mewarisi ilmu mereka.”Para ‘ulama itu adalah pewaris para nabi” sungguh betapa mulia pihak yang mewariskan dan pihak yang mewarisi.

Amma Ba’d :

Ini merupakan kitab yang ringkas meliputi dasar-dasar dalil yang bersumber dari hadits tentang hukum-hukum syari’at. Aku menyusunnya dengan gaya penyusunan yang bagus supaya orang yang menghafalnya menjadi orang yang menonjol di antara teman-teman sejawat/seangkatannya. Dan supaya seorang pelajar pemula bisa menjadikannya sebagai sarana, namun di sisi lain seorang yang senior pun masih tetap butuh/tidak bisa lepas darinya.

Aku jelaskan pada tiap-tiap akhir hadits para imam yang meriwayatkan hadits tersebut, dalam rangka memberikan penjelasan kepada umat.

Maksud dari As-Sab’ah (imam yang tujuh) adalah : Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

As-Sittah (imam yang enam) adalah : semua nama di atas kecuali Ahmad. [1]

Al-Khamsah (imam yang enam) adalah : semua nama di atas kecuali Al-Bukhari dan Muslim. [2]

Terkadang saya istilahkan juga dengan Al-Arba’ah dan Ahmad.

Al-Arba’ah (imam yang empat) adalah : nama-nama di atas kecuali tiga nama pertama. [3]

Ats-Tsalatsah (imam yang tiga) adalah : nama-nama di atas kecuali tiga nama pertama dan satu nama terakhir. [4]

Muttafaq ‘alaihi adalah : Al-Bukhari dan Muslim. Terkadang kalau aku sudah menyebutkannya, tidak aku sebutkan yang lain (meskipun hadits tersebut juga diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, ed).

Adapun para periwayat hadits selain nama-nama para imam di atas, maka akan disebutkan secara jelas siapa yang meriwayatkannya.

Aku beri judul kitab ini :

بلوغ المرام من أدلة الأحكام

Aku memohon kepada Allah agar tidak menjadikan ilmu yang kita ketahui malah menjadi bumerang atas diri kita sendiri, dan semoga Allah memberikan rizki kepada kita berupa amalan yang Dia ridhai. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi.

* * *

كتاب الطهارة
Kitabuth Thaharah

Sebagaimana kitab-kitab fiqh karya para ‘ulama lainnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memulai kitabnya Bulughul Maram ini dengan Kitabuth Thaharah.

♦ Kitab

Secara etimologi : kumpulan. Dinamakan dengan kitab karena merupakan kumpulan huruf, kata, dan kalimat. Kitab di sini maknanya adalah maktub (sesuatu yang ditulis).

Secara terminologi : sesuatu yang ditulis di atas kertas untuk disampaikan kepada pihak lain atau ditulis agar tidak lupa. Para ‘ulama fiqh mempergunakan istilah kitab untuk pembahasan yang luas, yang terdiri dari beberapa bab dan pasal.

♦ Thaharah (Bersuci)

Secara etimologi : Kebersihan dan kesucian dari kotoran, baik bersifat hissi (nampak) maupun ma’nawi (abstrak).

Secara terminologi : Terangkatnya hadats atauh hilangnya najis.

Hadats adalah suatu kondisi pada badan yang menyebabkan seseorang terhalangi/tidak boleh mengerjakan ibadah yang dipersyaratkan thaharah (bersuci) padanya, seperti shalat, thawaf, menyentuh mush-haf, dll.

Hadats ada dua jenis :

-          Hadats Ashghar (kecil), seperti kentut, kencing, tidur, dll. Cara menghilangkannya adalah dengan berwudhu`

-          Hadats Akbar (besar), seperti ihtilam (mimpi basah), jima’, haidh, dan nifas. Cara menghilangkannya adalah dengan mandi janabah.

Thaharah dari hadats sifatnya ma’nawi (abstrak). Sehingga thaharah dari hadats tidak mencuci/membasuh tempat keluarnya hadats, namun membasuh anggota badan tertentu yang telah ditentukan oleh syari’at. Misalnya orang yang berthaharah dari kentut, maka dia tidak membasuh atau mencuci tempat keluarnya kentut. Namun ditentukan dalam syari’at dia harus membasuh anggota badan lainnya, yaitu dia harus berwudhu`.

Najis adalah kotoran yang wajib atas setiap muslim untuk membersihkan diri darinya atau mencuci sesuatu yang terkenainya. Contoh najis : kencing, kotoran manusia.

Thaharah dari najis

Perbedaan antara thaharah (bersuci) dari hadats dengan thaharah (bersuci) dari najis :

Thaharah dari hadats termasuk dalam pelaksanaan perintah, oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus ada niat -menurut pendapat yang lebih benar di kalangan ‘ulama–. Jadi kalau berwudhu` harus ada niat, kalau mandi janabah harus ada niat.

Adapun thaharah dari najis tidak dipersyaratkan padanya niat. Sehingga kalau seseorang mencuci bajunya dari noda dan padanya terdapat najis, namun ketika mencuci itu dia tidak meniatkan menghilangkan najis, maka dengan itu bajunya menjadi suci. Demikian pula kalau pakaian najis kehujanan, sehingga menjadi bersih, maka baju tersebut hukumnya suci. Atau misalnya wujud najis menjadi hilang dengan sebab bensin atau yang lainnya, maka dinyatakan suci. Karena najis merupakan sesuatu yang bersifat konkrit, dengan apa pun dan cara apa pun najis tersebut bisa hilang, maka sudah dihukum suci.

Perlu diketahui, bahwa thaharah itu ada dua makna :

   1. Thaharah ma`nawi , yaitu thaharah hati dari syirik, kekufuran, nifaq, hasad, khianat, ragu, dan berbagai penyakit hati dan akhlaq tercela lainnya. Tema ini dibahas dalam bidang tauhid dan aqidah. Demikian juga dibahas dalam bidang akhlaq.
   2. Thaharah hissi, thaharah yang bersifat tampak, yaitu thaharah dari hadats dan najis. Tema inilah yang dibahas dalam kitab-kitab fiqh.

Kenapa dimulai dengan thaharah?

Para ‘ulama dari kalangan para muhadditsin dan para fuqaha’, dalam menyusun kitab-kitab karya mereka, pada umumnya memulainya dengan pembahasan tentang thaharah. Hal itu karena dua alasan :

Pertama : thaharah merupakan syarat shalat yang paling penting. Berdasarkan firman Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ [المائدة/6]

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kaian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, [Al-Ma`idah : 6]

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ

Allah tidak menerima ibadah shalat seorang dari kalian apabila dia berhadats, sampai dia berwudhu’ [HR. Al-Bukhari (135, 6954), Muslim (225)]

Kedua : thaharah merupakan pembersihan (takhliyah). Pembersihan itu dilakukan sebelum menghias (tahliyah). Sebagaimana halnya rumah -misalnya- bersihkan terlebih dahulu, baru kemudian di tata supaya indah dan rapi.

باب المياه

BAB : AIR-AIR

♦ Bab :

Secara etimologi  : Pintu, yakni pintu masuk menuju suatu tempat atau ruangan.

Secara terminologi : bagian dari pengklasifikasian untuk pembahasan-pembahasan yang sama, yang tingkatannya di bawah “kitab”.

♦ Al-Miyah :

Al-Miyah merupakan bentuk jama’ dari kata al-ma`(air). Air merupakan benda cair yang sudah sangat dikenal oleh umat manusia. Sebenarnya air itu sama semua dan satu jenis saja. Namun penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) menyebutkannya di sini dalam bentuk jama’, karena meninjau sumber atau asalnya yang berbeda-beda. Ada air laut, air hujan, air sumur, air sungai, air telaga, dan berbagai macam lainnya.

Dalam bab ini penulis hendak membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan air, yakni kapan air itu dinyatakan tetap suci dan kapan air itu dinyatakan telah menjadi najis, serta berbagai hukum lainnya. Penulis mengawali Kitabuth Thaharah ini dengan pembasan tentang air, karena air merupakan alat utama dalam thaharah.

[Hadits Pertama]

[Hukum Air Laut]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللهِ صلى الله عليه وسلم فِي اَلْبَحْرِ: (( هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ )) أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ؛ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَافِعِيُّ وَأَحْمَدُ.

Dari  Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang (air) laut : “Laut itu airnya thahur, bangkainya pun halal.”

Diriwayatkan oleh Al-Arba’ah, Ibnu Abi Syaibah -lafazh hadits ini riwayat beliau (Ibnu Abi Syaibah) [5]) -. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.

# Takhrijul Hadits :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 83; An-Nasa`i no. 332, 4350; At-Tirmidzi no. 69; dan Ibnu Majah no. 386; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya bab no. 158, hadits no. 15. Malik dalam Al-Muwaththa` no. 37; Asy-Syâfi’i dalam Musnad-nya no. 1; Ahmad dalam Musnad-nya no. 7192, 8518, 8695, 8855.

Hadits ini merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : (( هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ))

Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami mengarungi lautan dan ketika itu kami hanya membawa air sedikit saja. Jika kami berwudhu dengan air tersebut, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu` menggunakan air laut?”. Maka Rasulullah menjawab : “Dia itu ath-thahûr airnya, bangkainya pun halal.”

◊ Ath-Thahûr artinya : suci dan mensucikan, yakni suci pada dzatnya dan bisa mensucikan benda yang lainnya.

# Kedudukan Hadits :

Shahih. Al-Hafizh telah menyebutkan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (dalam Shahih-nya no. 111) dan At-Tirmidzi (dalam Sunan-nya no. 69), beliau berkata : “Hadits ini adalah hadits yang hasan shahih.”.

Sebelumnya, para ‘ulama besar telah menshahihkan hadits ini, antara lain : Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hakim, Al-Imam Ibnu Hibban, Al-Imam Ibnul Mundzir, Al-Imam Ath-Thahawi, Al-Imam Al-Baghawi, Al-Imam Al-Khaththabi, dan selain mereka.

Hadits ini juga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 480 dan Irwa`ul Ghalil no. 9.

# Fiqhul Hadîts :

1.      Air laut suci secara mutlak tanpa terkecuali, suci pada dzatnya dan dapat mensucikan benda lainnya. Sehingga air laut boleh dan sah digunakan untuk thaharah (bersuci/menghilangkan najis) dan berwudhu`, bahkan mandi janabah.

2.      Bangkai hewan laut hukumnya halal. Yang dimaksud dengan hewan laut adalah semua hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Ash-Shahihah -pada hadits nomor : 480- mengatakan : “Halalnya semua hewan yang mati di laut jika memang hewan tersebut tempat hidupnya di laut, walaupun sudah mengapung di atas air.

Betapa baiknya sebuah atsar yang diriwayatkan dari shahabat Ibnu ‘Umar, bahwasanya beliau ditanya : “Apakah boleh aku memakan (hewan laut) yang telah terapung di atas air?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya segala yang terapung di atas air (laut) adalah bangkainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya air laut itu suci mensucikan, dan bangkainya halal (dimakan.” Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni 538.

Sementara hadits yang berisi larangan memakan hewan yang terapung di atas air (laut) adalah hadits yang tidak sah, sebagaimana telah dipaparkan pada kitab yang lain. [6] — selesai Asy-Syaikh Al-Albani –

Di antara yang memperkuat dalil di atas adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوت، و أما الدمان : فالكبد و الطحال

“Telah dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai adalah serangga dan ikan. Adapun dua jenis darah adalah hati dan jantung”. HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 3218, 3314.

Hadits ini mauquf (yakni hanya dari ucapan shahabat Nabi) jika ditinjau dari lafazhnya, akan tetapi dihukumi marfu‘ (yakni sumber asalnya adalah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) jika ditinjau dari sisi hukumnya. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihah no 1118.

Hukum ini mencakup semua bangkai hewan yang hidup di laut, sekalipun penamaanya menyerupai hewan darat yang haram dimakan, misalnya: anjing laut, ular laut, babi laut, dan sebagainya. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, dan Al-Imam Asy-Syaukani.

# Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jawabannya menyebutkan juga tentang hukum bangkai hewan laut, padahal sang penanya hanya menanyakan tentang hukum berwudhu menggunakan air laut, tidak bertanya tentang hukum bangkai hewan laut?

Jawab : Karena orang yang mengarungi lautan sangat mungkin menghadapi permasalahan terkait bangkai hewan laut -boleh dimakan atau tidak-  terlebih di tengah lautan sangat memungkinkan kehabisan bekal, dan di tengah laut tidak ada tempat bertanya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melengkapkan jawabannya  ketika itu.

Al-Imam Ar-Rafi’i rahimahullah berkata : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa penanya tidak mengetahui tentang hukum air laut, maka sangat mungkin penanya juga tidak mengetahui hukum bangkai hewan yang hidup di laut. Terkadang orang yang mengarungi lautan dihadapkan dengan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan jawabannya mengenai hukum memakan bangkai hewan yang hidup di laut.

Al-Imam Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata : “Di antara bentuk fatwa yang baik adalah memberikan jawaban lebih banyak dari sekadar yang ditanyakan dalam rangka menyempurnakan pengetahuan, sekaligus memberikan pengetahuan ilmu yang tidak ditanyakan oleh si penanya.”

# # #

[1] Yakni : Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[2] Yakni Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[3] Yakni Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[4] Yakni Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i.

[5] Pernyataan penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) bahwa lafazh yang beliau nukil adalah lafazh yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah perlu ditinjau ulang. Karena setelah kami merujuk kembali kepada kitab Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah, lafazh yang kami temukan dari shahabat Abu Hurairah adalah : ( البحر الطهور ماؤه الحلال ميتته ). Letak perbedaannya  pada kata :   البحر dan   الحلال .

Kami juga mendapati pada kitab Mushannaf tersebut dengan lafazh sama dengan yang dinukil oleh Al-Hâfizh, namun dari seorang shahabat yang berasil dari Bani Mudlaj, bukan Abû Hurairah. Kami juga mendapati lafazh : ( هو الطهور ماؤه والحلال ميتته )   dari shahabat Abu Bakr Ash-Shiddiq, bukan dari Abu Hurairah. itu pun terdapat perbedaan pada lafazh  : الحلال .

Justru lafazh yang dinukilkan oleh Al-Hafizh adalah lafazh yang diriwayatkan oleh Al-Arba’ah (Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah) dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu . Wallahu A’lam.

[6] Hadits yang beliau maksud adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Jabir dengan lafadz :

ما ألقى البحر أو جزر عنه فكلوه و ما مات فيه و طفا فلا تأكلوه

Segala terdampar di laut (di pantai) silakan kalian makan. Sementara yang mati di laut dan terapung maka jangan kalian makan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3815 dan Ibnu Majah 3247. 
http://www.assalafy.org/mahad/?p=380#more-380
Selanjutnya...... - Bulughul Maram (1) : Hukum Air Laut

Meraih Ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.”

Takhrij Hadits
Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam As-Sunan, Kitab Al-Birr Wash-shilah Bab Ma Ja`a Fi Haqqil Jiwar (1/353) no. 1944, Ad-Darimi dalam As-Sunan (2/215) no. 2441, Ibnu Hibban dalam Ash-Shahih no. 518 dan 519, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/101) dan (4/164), Ahmad bin Hanbal dalam Al-Musnad (2/167-168), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad Bab Khairul Jiran no. 115, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 9541, dan Ibnu Bisyran dalam Al-’Amali (1/143).
Hadits di atas berasal dari jalan Haiwah bin Syuraih dan Ibnu Lahi’ah, keduanya dari Syurahbil bin Syarik, dari Abu Abdirrahman Al-Hubuli, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash1 radhiyallahu ‘anahu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui dua perawi ini2 semua meriwayatkan hadits Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anahu, kecuali At-Tirmidzi, Al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Mereka hanya menyebutkan Haiwah bin Syuraih tanpa menyertakan Ibnu Lahi’ah.
Hadits ini shahih, wallahu a’lam. Adapun kelemahan pada Ibnu Lahi’ah, tidak membahayakan karena dia meriwayatkan bersama Haiwah bin Syuraih At-Tamimi Al-Mishri.3 Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Demikian pula Ibnu Bisyran menshahihkannya, dan dihasankan oleh At-Tirmidzi rahimahumullah.
Al-Hakim An-Naisaburi berkata: “Shahih ‘ala syarthi Asy-Syaikhain (Hadits ini shahih sesuai syarat dua Syaikh, yakni Al-Bukhari dan Muslim).”4
At-Tirmidzi berkata: “Haditsun hasanun gharib (Hadits ini hasan gharib).”
Ibnu Bisyran5 berkata: “Haditsun shahihun wa isnaduhu kulluhum tsiqat (Hadits ini shahih dan sanadnya semuanya rawi-rawi tepercaya).”
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Ash-Shahihah (1/211) no. 103.

Islam Mengatur Adab Bertetangga
Sebagai makhluk sosial, mustahil bagi kita hidup menyendiri tanpa tetangga atau orang lain. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita saling membantu di atas kebaikan dan takwa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma`idah: 2)
Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu yang ada di hadapan kita, adalah sekian dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan seorang muslim dalam berakhlak dan bermuamalah dengan tetangganya.6
Tetangga adalah orang terdekat dalam kehidupan. Tidaklah seseorang keluar dari rumah melainkan dia lewati tetangganya. Di saat dirinya membutuhkan bantuan, tetanggalah orang pertama yang dia ketuk pintunya. Bahkan di saat dia meninggal bukan kerabat jauh yang diharapkan mengurus dirinya, tetapi tetanggalah yang dengan tulus bersegera menyelenggarakan pengurusan jenazahnya.
Begitu penting dan mulianya tetangga, Islam datang mengajarkan adab-adab bertetangga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Cukuplah ayat ini sebagai hujah atas manusia untuk mereka selalu berbuat baik dan berakhlak mulia kepada tetangga.
Pembaca rahimakumulah, sejenak kita simak beberapa faedah dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk berbuat baik kepada tetangga dengan segala bentuk kebaikan.
Sabda ini juga memberikan faedah bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam berbuat baik kepada tetangga. Semakin baik seseorang kepada tetangga, semakin mulia dan tinggi pula derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hadits ini ada isyarat yang sangat lembut untuk berlomba dalam berbuat baik kepada tetangga agar menjadi yang terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah dunia, di atas kefanaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan dia sebagai ladang beramal dan berlomba meraih kedekatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-Ma`idah: 35)
Bagaimana Berbuat dan Berakhlak Baik pada Tetangga?
Pertanyaan yang penting ini tidaklah terjawab kecuali dengan menapaki perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai teladan terbaik dalam segala sisi kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Ayat ini adalah kaidah dalam kita mengarungi samudera kehidupan termasuk di dalamnya hidup bertetangga.
Pembaca rahimakumullah, seorang dikatakan berbuat baik dan memiliki adab mulia kepada tetangga jika dia wujudkan dua pokok penting, yang keduanya ditunjukkan dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama: Menahan diri dari segala bentuk kezaliman dan perkara yang mendatangkan mudarat kepada tetangga.
Kedua: Berbuat baik dan menempuh segala sebab syar’i yang mendatangkan kebaikan bagi tetangga.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah berkata: “Hak tetangga adalah hak-hak yang sangat ditekankan atas tetangganya. Hadits-hadits telah datang begitu banyak, memberi dorongan untuk memuliakan tetangga sekaligus mengancam dari menyakiti tetangga atau menimpakan kemudaratan kepadanya… Memuliakan tetangga terwujud dengan menyampaikan kebaikan kepada mereka dan selamatnya mereka dari kejelekannya.” (diringkas dari risalah Fathu Al-Qawiyyil Matin Fi Syarhil Arba’in Wa Tatimmatil Khamsin, hal. 62-63)

Meninggalkan Segala Bentuk Kezaliman dan Perkara yang Memudaratkan Tetangga
Pembaca, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kita, pokok pertama ini ditunjukkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْآخِرْ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia sakiti tetangganya.”7
Jeleknya hubungan bertetangga sering kita saksikan, terlebih di akhir zaman di tengah rusaknya agama dan tatanan kehidupan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hal tersebut adalah satu dari sekian banyak tanda dekatnya hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّفَاحُشُ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَسُوْءُ الْمُجَاوَرَةِ
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga tampak perzinaan, perbuatan-perbuatan keji, pemutusan silaturrahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.”8
Apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan benar-benar menjadi kenyataan. Perzinaan mewabah bahkan dilegalkan. Manusia berlomba saling menjatuhkan dan memutus tali kekerabatan. Rusaknya hubungan bertetangga dan jeleknya muamalah di antara mereka pun terwujud dan tampak nyata.
Seseorang tidak lagi mengenal tetangga yang hanya berbatas tembok. Jangankan untuk memerhatikan kebutuhan dan keadaannya, mengucap salam dan bertegur sapa pun menjadi hal yang sulit dijumpai.
Kezaliman pada tetangga dengan berbagai ragamnya sangat banyak terjadi. Bahkan membunuh tetangga sering kita dengar di sejumlah berita. Allahu akbar! Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam empat belas abad silam:
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَقْتُلَ الرَّجُلُ جَارَهُ وَأَخَاهُ وَأَبَاهُ
“Hari kiamat tidak akan dibangkitkan hingga seseorang membunuh tetangga, saudara, dan bapaknya.”

Zalim Kepada Tetangga Lebih Berat di Sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan atas hamba-Nya segala bentuk kezaliman. Tetapi kezaliman kepada tetangga jauh lebih berat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada kezaliman kepada selain mereka. Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anahu salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan:
سَأَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ عَنِ الزِّنَى، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ. وَسَأَلَهُمْ عَنِ السَّرِقَةِ، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَسْرِقَ مِنْ عَشْرَةِ أَهْلِ أَبْيَاتٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang zina? Mereka mengatakan: “Zina itu haram, telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian beliau bersabda: “Sungguh seseorang berzina dengan sepuluh wanita lebih ringan baginya daripada berzina dengan istri tetangganya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa pendapat kalian tentang mencuri?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, mencuri adalah haram.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh seseorang mencuri dari sepuluh rumah lebih ringan atasnya daripada mencuri dari rumah tetangganya.”10
Di kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa menyakiti tetangga adalah sebab terjerumusnya seseorang dalam neraka meskipun dia adalah ahli ibadah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu berkata:
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
Dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah sesungguhnya fulanah senantiasa melakukan shalat malam, berpuasa di siang hari, banyak beribadah dan bersedekah, tetapi dia selalu menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada kebaikan pada dirinya, dia termasuk penghuni neraka.”11
Bahkan dalam sabda yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan keimanan dari orang yang berbuat zalim kepada tetangganya. Abu Syuraih radhiyallahu ‘anahu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Rasul ditanya: “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.”12
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil akan haramnya berbuat zalim kepada tetangga, baik dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Di antara kezaliman dalam bentuk perkataan adalah memperdengarkan kepada tetangga suara yang mengganggu, seperti radio, televisi, atau suara sejenis yang mengganggu. Sesungguhnya hal ini tidaklah halal, meskipun yang diperdengarkan adalah bacaan Al-Qur`an, (selama itu) mengganggu tetangga berarti dia telah berbuat zalim. Maka tidak halal baginya untuk melakukannya.13
Adapun (kezaliman dalam bentuk) perbuatan, seperti membuang sampah di sekitar pintu tetangga, mempersempit pintu masuknya, atau perkara semisalnya yang merugikan tetangga. Termasuk dalam hal ini adalah jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain di sekitar tembok tetangga, ketika dia menyirami, (airnya berlebih hingga) melampaui tetangganya. Ini pun sesungguhnya termasuk kezaliman yang tidak halal baginya.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 2/178)
Meninggalkan kezaliman atas tetangga adalah pokok yang sangat penting dalam bermuamalah dengan tetangga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan kita dari segala bentuk kezaliman yang pada hakikatnya adalah kegelapan di hari kiamat. Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.”14

Berbuat Baik Kepada Tetangga dan Menempuh Segala Sebab yang Mendatangkan Kebaikan Kepadanya
Dalil bagi pokok kedua adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berbuat baiklah kepada tetangganya.”15
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita berbuat baik dan mencintai orang-orang yang berbuat baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
Berbuat baik tidak terbatas pada manusia, bahkan kepada hewan, syariat Islam pun memerintahkannya.16
Di samping perintah yang bersifat umum, secara khusus Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa ihsan kepada mereka termasuk dari iman dan syarat kesempurnaan iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Hadits ini menunjukkan wajibnya memuliakan tetangga, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya’.”
Memuliakan dalam hadits ini bersifat mutlak (mencakup segala bentuk pemuliaan). Maka (perlu) dikembalikan kepada ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Terkadang pemuliaan terwujud dengan cara mengunjungi tetangga, mengucapkan salam dan bertamu kepada mereka, bisa jadi dengan cara memberinya hadiah-hadiah. Masalah ini dikembalikan kepada ‘urf. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah hal. 201-203)
Keterangan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu sangat berharga dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat. Adat masyarakat yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat seharusnya diperhatikan dalam mewujudkan keharmonisan hidup bertetangga, terlebih jika adat tersebut memberi nilai positif bagi dakwah tauhid.
Sebagai misal, dalam adat masyarakat Jawa, dikenal adanya bahasa halus yang digunakan sebagai bentuk penghormatan yaitu “krama inggil”. Biasanya bahasa ini digunakan untuk mengajak bicara orang yang lebih tua atau dihormati. Maka termasuk ikram (memuliakan) kepada tetangga –allahu a’lam– adalah mengajak bicara mereka dengan bahasa “krama”, sebagai bentuk penghormatan, apalagi tetangga yang sudah berumur.
Demikian pula adat-adat lain, selama adat tersebut tidak menyelisihi syariat dan termasuk perbuatan baik maka adat tersebut masuk dalam bentuk pemuliaan yang disebut secara mutlak dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Pembaca rahimakumullah, di pengujung pembahasan pokok kedua ini, perlu kiranya kita menengok beberapa bentuk pemuliaan yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya yang mulia. Di antara bentuk pemuliaan adalah:
a. Membantu kebutuhan pokok tetangga yang membutuhkan jika dia memiliki kelebihan.
Membantu kebutuhan pokok tetangga seperti makan jika mereka kelaparan atau pakaian jika mereka telanjang hukumnya wajib, apabila dia memiliki kelebihan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
“Tidaklah beriman seorang yang kenyang sementara tetangganya lapar di sisinya.”17
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada dalil yang jelas tentang haramnya orang kaya membiarkan tetangga-tetangganya dalam keadaan lapar. Oleh karena itu wajib atasnya menyuguhkan kepada mereka sesuatu yang bisa menghilangkan lapar. Demikian pula memberi pakaian jika mereka telanjang dan yang semisalnya dari kebutuhan-kebutuhan yang dharuri (bersifat pokok).
Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwasanya ada kewajiban lain pada harta selain zakat. Maka janganlah orang-orang kaya menyangka telah bebas dari kewajiban hanya dengan mengeluarkan zakat setiap tahunnya. Bahkan ada kewajiban-kewajiban lain atas mereka dalam situasi dan kondisi tertentu yang wajib mereka tunaikan. Jika tidak, mereka akan masuk dalam ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35) [Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/280-281]
b. Mempersilakan tetangga memasang kayu pada temboknya selama tidak merugikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبةً فِيْ جِدَارِهِ
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian menghalangi tetangganya untuk memasang kayu di temboknya.”18
Makna hadits ini sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu: “Jika tetanggamu hendak mengatapi rumahnya dan (dia perlu) meletakkan kayu pada tembokmu, maka tidak boleh bagimu melarangnya. Karena (keberadaan) kayu tersebut tidak membahayakan, bahkan akan memperkuat (tembok) dan mencegah aliran air dengannya.
Terlebih (konstruksi) bangunan tempo dulu di mana rumah-rumah dibangun dengan tanah yang dipadatkan, maka keberadaan kayu justru akan mencegah mengalirnya air hujan pada tembok ....”19
Permasalahan memasang kayu serupa dengan keputusan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu ketika terjadi sengketa antara Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu dan tetangganya.
Ketika itu (Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu) bermaksud mengalirkan air menuju kebunnya akan tetapi terhalangi kebun tetangganya (sehingga air tidak mungkin dialirkan kecuali harus melewati kebun tersebut). Tetangga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu (bersikeras) menghalanginya untuk membuat aliran di atas tanah kebun miliknya. Maka keduanya mengangkat permasalahan kepada Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu. ‘Umar berkata: “Demi Allah jika engkau menghalangi, aku akan mengalirkan air melalui perutmu, dan aku perintahkan dia untuk mengalirkan air.”
(Keputusan ini) karena mengalirkan air melalui tanah kebun tidaklah merugikan, bahkan kebun yang dilaluinya akan mendapat manfaat dengan aliran tadi. Terkecuali jika memang si pemilik kebun hendak membangun bangunan di atas tanahnya dan tidak memungkinkan untuk mengalirkan air di atasnya, maka tidak mengapa baginya untuk melarang. (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/179-180)
c. Memberi hadiah kepada tetangga, seperti memperbanyak kuah ketika memasak.
Memberi hadiah atau bingkisan kepada tetangga termasuk kebaikan yang diwasiatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saling memberi hadiah adalah salah satu sebab di antara sebab-sebab terwujudnya cinta dan kasih sayang. Sampai-sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anahu:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَ الْمَرَقَةِ وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ أَوِ اقْسِمْ فِي جِيرَانِكَ
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak gulai, perbanyaklah kuahnya, perhatikan tetanggamu, dan bagilah untuk tetanggamu.”20
Demikian beberapa teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbuat baik kepada tetangga. Tiga contoh di atas bukanlah pembatasan mengingat banyaknya bentuk ihsan (berbuat baik). Maka seharusnya seorang muslim berusaha mewujudkan hal ini dengan berbagai bentuk kebaikan, baik ucapan atau perbuatan, seperti memenuhi undangan, memberikan nasihat, berdakwah, berziarah (berkunjung), menjenguk di kala sakit atau menutup aib-aib, juga segala bentuk kebaikan menurut adat yang berlaku selama tidak bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pembaca rahimakumulah, ketahuilah bahwa berbuat baik kepada tetangga termasuk pokok dakwah yang diserukan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Dan di antara pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah .... mereka memerintahkan yang ma’ruf dan melarang kemungkaran, sesuai yang dituntunkan syariat. Mereka memerintahkan berbakti kepada orangtua, menyambung kekerabatan, dan berbuat baik kepada tetangga.” (Muqaddimah Al-Qaulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid hal.35)
Begitu besar hak tetangga hingga Jibril q senantiasa mewasiatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tetangga. Beliau bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Senantiasa Jibril mewasiatiku dengan tetangga hingga aku menyangka bahwa tetangga akan mewarisi.”21

Akhlak Mulia adalah Keharusan dalam Dakwah
Akhlak mulia sangat dibutuhkan dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat, bahkan dia adalah keharusan dalam dakwah. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang dipenuhi kelembutan dan kasih sayang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang sangat lembut dan dekat dengan umatnya. Bahkan rumah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu terbuka tanpa penjaga pintu, tidak sebagaimana kebiasaan raja-raja dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Dakwah akan diberkahi dengan tauhid dan akhlakul karimah. Janganlah akhlak yang buruk justru menjadi sebab manusia lari dari kebenaran. Sungguh menggembirakan kala kita mendengar banyak ma’had-ma’had (pondok-pondok pesantren, red.) Ahlus Sunnah berdiri di negeri yang sedang dilanda berbagai badai fitnah. Namun perlu diingat bahwa perkembangan tadi harus dihiasi dengan akhlak mulia. Jalinlah hubungan baik dengan masyarakat terutama tetangga. Berziarahlah (berkunjunglah) kepada mereka dengan adab-adab Islam. Jangan menjadikan kaum muslimin yang awam akan agama sebagai musuh. Justru mereka merupakan lahan dakwah yang membutuhkan tetesan kasih sayang.
Pembaca rahimakumullah, kita akhiri majelis ini dengan sebuah wasiat bagi seluruh muslimin untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kembali menelaah serta meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah jalan kebahagiaan dan kejayaan. Inilah jalan kemenangan dan manhaj kehidupan, untuk menggapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan cinta-Nya. Wallahu a’lam.
Washallalahu ‘ala Muhammad wa alihi wa shahbihi. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

1 Beliau adalah Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anahu, bertemu nasabnya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’b bin Lu`ai. Beliau meninggal tahun 65 H.
2 Yakni Haiwah bin Syuraih dan Ibnu Lahi’ah.
3 Hadits ini juga datang dari jalan Abdulah bin Yazid Al-Muqri` di mana dia mendengar hadits Ibnu Lahi’ah sebelum kitab-kitabnya terbakar dan sebelum hafalannya berubah.
4 Faedah: Riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ada dua kerancuan. Pertama: Al-Hakim mengganti Syurahbil bin Syarik dengan rawi lain yaitu Syurahbil bin Muslim. Kedua: Perkataan Al-Hakim: “Hadits ini shahih menurut syarat Asy-Syaikhain” tidaklah tepat, karena Syurahbil bin Muslim meskipun tsiqah, tetapi Muslim tidak mengeluarkan haditsnya dalam Ash-Shahih. Adapun Syurahbil bin Syarik hanya dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan tidak dikeluarkan haditsnya oleh Al-Bukhari. Lihat As-Shahihah (1/212). Al-Mundziri dalam At-Targhib Wat-Tarhib (3/360) menyebutkan bahwa Al-Hakim menghukuminya sebagai hadits shahih sesuai syarat Al-Imam Muslim, sehingga ada kemungkinan lain bahwa kesalahan bukan dari Al-Hakim, tetapi dari percetakan atau dari penyalin. Allahu a’lam.
5 Beliau adalah Abdul Malik bin Muhammad bin Abdillah bin Bisyran, meninggal 430 H.
6 Al-Bukhari misalnya, beliau kumpulkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan hak-hak tetangga dalam 28 bab khusus dalam Al-Adabul Mufrad, diawali dengan kitab Al-Wushat bil Jar (Wasiat berbuat baik kepada tetangga) dan diakhiri dengan bab Jar Al-Yahudi (Tetangga Yahudi).
7 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 4787.
8 Shahih, diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (10/26-31) dengan tahqiq Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu. Beliau berkata: “Sanadnya shahih.” Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/75-76) dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu.
9 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Bab Al-Jar As-Suu` dari hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anahu.
10 Shahih, diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/8), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 103), dan Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir (20/605).
11 Shahih, diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad (2/440), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 119).
12 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 6016 dan Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (4/31 dan 6/385).
13 Terlebih jika tetangga dalam keadaan sakit, suara-suara keras termasuk bacaan Al-Qur`an membuatnya tidak bisa beristirahat. Lalu bagaimana jika yang diperdengarkan adalah suara-suara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan seperti musik dan sejenisnya? Sungguh, dosa di atas dosa!
14 Muttafaqun ‘alaihi dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu.
15 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 102
16 Sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan untuk berlaku baik terhadap segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh berlaku baiklah dalam membunuh dan apabila kalian menyembelih berlaku baiklah dalam menyembelih. Dan hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.” (HR. Muslim) dalam Ash-Shahih (13/1955) dengan syarah An-Nawawi dari hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anahu.
17 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 112 dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/278) hadits no. 149.
18 HR. Al-Bukhari no. 3463 dan Muslim no. 1609 dalam Shahih keduanya.
19 Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata: “Mazhab Al-Imam Ahmad bahwasanya seseorang harus baginya mempersilakan tetangganya meletakkan kayu pada temboknya jika tetangga membutuhkan dan tidak membahayakan tembok, berdasar hadits yang shahih ini.” (Jami’ Al-’Ulum wal Hikam, 1/352)
20 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 114


http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=726
Selanjutnya...... - Meraih Ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga
Design by JokoRowoTlogoRejo Islam itu Indah I Love Islam