Ada kontradiksi dalam Bhinneka Tunggal Ika. Konsep itu hanya bisa diwujudkan lewat toleransi, bukan peleburan. "Hanya dengan persatuan umat Islam bisa berjaya kembali," begitulah kata khatib khutbah Jumat yang sering kita dengar. Sebuah organisasi Islam, Majelis Mujahidin, belum lama ini meminta stasiun televisi menarik iklan layanan masyarakat bertemakan "Islam Warna-Warni" yang dianggap melecehkan. "Islam itu satu, tidak berwarna." "Persatuan dan kesatuan adalah modal utama kemerdekaan Indonesia." Begitulah bunyi spanduk jalanan untuk memperingati proklamasi kemerdekaan hari-hari ini. "Hanya dengan persatuan, Indonesia bisa menyelesaikan krisis dan keluar dari kemelutnya." Presiden Megawati Soekarnoputri menggaungkan tema itu dalam berbagai kesempatan. Persatuan! Sayangnya, persatuan adalah kata yang problematis, baik dalam agama maupun nasionalisme. "Satu Islam" adalah ilusi. Sejarah Islam menyaksikan betapa perbedaan menafsirkan Islam sudah berlangsung hanya sebentar setelah Rasulallah Muhammad wafat. Silang-sengketa bahkan sempat menumpahkan darah. Tiga dari empat khalifah pertama tewas terbunuh. Dan berabad kemudian, bersama menyebarnya Islam ke berbagai pelosok dunia, kita menyaksikan Islam yang demikian beragam. Ada dua aliran besar dalam Islam: Sunni dan Shiah. Dalam Sunni sendiri ada empat mazhab yang dikenal. Ahmadiyah, salah satu sekte yang populer di Pakistan, punya dua pecahan: Lahore dan Qadian. Ada ratusan kelompok tarekat (sufi) di seluruh dunia yang masing-masing boleh dikatakan khas. Bercampur dengan politik dan tradisi, kita juga mengenal dua organisasi besar Islam di Indonesia yang berbeda watak: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bagi orang Muhammadiyah, hanya ada "satu Islam" seperti yang dipahaminya. Demikian pula bagi kaum Nahdlyin. Bagi orang Iran, Shiah adalah "Islam yang satu" seperti bagi orang Malaysia Sunni itu "Islam yang satu" pula. Islam tidak unik dalam keragamannya. Semua agama --Yahudi, Kristen, Buddha dan Hindu-- mengenalnya. Tidak unik pula bahwa, dibaurkan oleh kepentingan politik, ekonomi dan identitas budaya, masing-masing pecahan agama saling bersaing untuk merebut pengaruh. Minus perang dan persengketaannya yang berdarah, keragaman mazhab dalam satu agama itu adalah keindahan sekaligus keniscayaan. Islam, seperti ditunjukkan oleh sejarahnya, adalah berwarna. Bukan berarti masing-masing mazhab dan aliran tak bisa bekerjasama atau "bersatu". Tapi, itu hanya mungkin dipahami lewat kesediaan untuk menerima ambiguitas manusia: "Kita mempercayai sesuatu yang mutlak, tapi mentoleransi kemungkinan orang lain mempercayai kemutlakan berbeda." Menerima kemutlakan sekaligus mengakui relativitas adalah keniscayaan orang dalam beragama seraya bisa hidup berdamai dengan manusia lain. Memaksakan "satu Islam" kepada semua penganut Islam, sebaliknya, tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang "satu" hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, seringkali lewat kekuasaan senjata, dan itu menyalahi konsepsi Islam yang dasar, bahwa "tidak ada paksaan dalam agama". Islam juga tidak unik dalam sejarahnya yang seringkali diwarnai darah. Gereja Katolik dan kaum Protestan telah memanfaatkan kolonialisme-penindasan ekonomi, politik dan senjata-untuk menyatukan umat manusia di bawah Kristus yang satu. "Persatuan" yang bersifat menindas bahkan berlaku hampir dalam semua ideologi, termasuk komunisme dan nasionalisme. "Satu Indonesia", dalam konteks sejarah nasional Indonesia, telah berulangkali menjadi sarana untuk menindas. Pada zaman Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno yang terobsesi dengan persatuan telah menjadikan slogan "persatuan dan kesatuan" menjadi dalih untuk memberangus partai politik. Begitu pula dengan Rezim Soeharto yang memanfaatkan "asas tunggal Pancasila" untuk membungkam suara-suara berbeda. Dan pada tahun-tahun terakhir, slogan yang sama dipakai pula oleh kaum nasionalis di PDI Perjuangan dan kaum militer untuk menolak federalisme. Negeri kita memang mengenal konsep "Bhinneka Tunggal Ika" atau "berbeda-beda tapi satu". Tapi dalam berbagai zaman, kita cenderung memakai "ika" untuk memberangus "kebhinnekaan"; keseragaman untuk membunuh beragam aspirasi politik dan budaya. Seperti dalam agama, penyeragaman interpretasi terhadap ideologi negara hanya dimungkinkan lewat pemaksaan, penahanan, pembunuhan, dan penindasan budaya. Pada 1960-an kita memaksa orang-orang keturunan Tionghoa, misalnya, untuk mengganti nama mereka dengan nama Jawa, Sunda atau Batak serta melikuidasi budaya dan keyakinannnya demi "persatuan". Melihat kerusuhan Mei 1998, ketika Orde Baru rontok, kita baru menyadari bahwa pembauran seperti itu hanya bersifat permukaan dan bahwa perbedaan tetap berakar jauh di alam bawah sadar. Persatuan memang diperlukan, terutama ketika negeri menghadapi krisis. Tapi, persatuan hakiki hanya mungkin berlangsung jika masing-masing pihak mengakui perbedaan seraya menyadari pentingnya bekerja sama untuk mewujudkan kepentingan bersama. Itulah pula esensi dari persatuan yang muncul dalam Sumpah Pemuda 1928. Persatuan bukanlah peleburan. Jika kita berpendapat bahwa persatuan dalam makna peleburan merupakan kunci kemerdekaan Indonesia, kita layak untuk menyimak kembali perdebatan 1930-an antara Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir di satu pihak dengan Soekarno di pihak lain. Pada waktu itu, Soekarno yang terobsesi oleh persatuan menginginkan partai-partai politik bergabung dalam wadah tunggal Permufakatan Pehimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Hatta tidak sependapat. Bagi dia perhimpunan itu tidak perlu menjadi satu organisasi tunggal melainkan sebaiknya menjadi cikal bakal parlemen Indonesia merdeka. Parlemen yang mengakui keragaman partai-partai. Konsep kemerdekaan Indonesia, bagi Hatta yang cenderung demokrat dan federalis, tidak ada kaitannya dengan "peleburan atau penyatuan pemikiran politik". Sjahrir mendukung Hatta dan berpendapat bahwa tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer dan oleh karena itu insidental. Usaha untuk menyatukan bagian-bagian secara paksa hanya akan menghasilkan "anak banci". Persatuan seperti itu, menurut Sjahrir, hanya akan menjadi "sakit, tersesat dan merusak pergerakan". Orang memang cenderung melihat perbedaan sebagai perpecahan. Keliru. Ekosistem yang kuat di alam dipelihara oleh kebhinnekaan "spesies"-nya. Makin beragam spesies di dalamnya, makin stabil ekosistem itu. Hutan tropis Kalimantan akan segera punah jika semua lumut dan ganggang dipaksa menjadi pohon jati yang seragam. Sama pula dengan Indonesia. "Bhinneka Tunggal Ika" hanya akan menjadi konsep yang efektif lewat toleransi atas perbedaan, bukan peleburan. Itu tidak hanya berlaku untuk Islam, tapi juga untuk Indonesia.*** |
1-Islam?,1-Indonesia?,1-Ilusi?
Label:
Pluralisme Dalam Kehidupan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar