Wawasan Al-Quran tentang Nabi Muhammad SAW


Disadari atau tidak, wujud Tuhan  pasti  dirasakan  oleh  jiwa
manusia  baik  redup  atau  benderang. Manusia menyadari bahwa
suatu ketika dirinya akan mati. Kesadaran ini  mengantarkannya
kepada  pertanyaan  tentang  apa  yang  akan  terjadi  sesudah
kematian,  bahkan  menyebabkan  manusia  berusaha   memperoleh
kedamaian dan keselamatan di negeri yang tak dikenal itu.
 
Wujud   Tuhan   yang   dirasakan,  serta  hal-ihwal  kematian,
merupakan dua dari  sekian  banyak  faktor  pendorong  manusia
untuk  berhubungan  dengan Tuhan dan memperoleh informasi yang
pasti. Sayangnya tidak semua manusia mampu melakukan hal  itu.
Namun,   kemurahan   Allah   menyebabkan-Nya  memilih  manusia
tertentu untuk  menyampaikan  pesan-pesan  Allah,  baik  untuk
periode  dan  masyarakat tertentu maupun untuk seluruh manusia
di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas  itulah
yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (Utusan Tuhan).
 
Jumlah  mereka  secara  pasti  tidak diketahui. Al-Quran hanya
menginforrnasikan bahwa,
 
"Tidak satu  umat  (kelompok  masyarakat)  pun  kecuali  telah
pernah diutus kepadanya seorang pembawa peringatan" (QS Fathir
[35]: 24).
 
Al-Quran juga menyatakan kepada Nabinya bahwa,
 
"Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu, di antara  mereka
ada  yang  telah  kami  sampaikan  kisahnya, dan ada pula yang
tidak Kami sampaikan kepadamu" (QS Al-Mu'min [40]: 78)
 
Al-Quran  menyebutkan  secara  tegas  nama  dua   puluh   lima
Nabi/Rasul;   delapan  belas  di  antaranya  disebutkan  dalam
Al-Quran surat Al-An'am (6): 83-86,  sisanya  didapatkan  dari
berbagai ayat.
 
Nabi  Muhammad Saw. seperti dinyatakan Al-Quran surat Al-A'raf
(7): 158 -diutus kepada seluruh manusia, dan beliau  merupakan
khataman nabiyyin (penutup para nabi) (QS Al-Ahzab [33]: 40).
 
Masa Prakelahiran
 
Al-Quran  menegaskan  bahwa  para  nabi  telah pernah diangkat
janjinya untuk percaya dan membela Nabi Muhammad Saw.
 
"Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi,
'Sungguh  apa  saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan
hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang
membenarkan  kamu,  niscaya  kamu sungguh-sungguh akan beriman
kepadanya dan  menolongnya.'  Allah  berfirman,  'Apakah  kamu
mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?' Mereka
menjawab, 'Kami mengakui.'" (QS Ali'Imran [3]: 81)
 
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda,
 
"Demi  (Allah)  yang   jiwaku   berada   pada   genggaman-Nya,
seandainya  Musa  a.s.  hidup,  dia  tidak  dapat mengelak dan
mengikutiku" (HR Imam Ahmad)
 
Tidak jelas kapan dan  bagaimana  perjanjian  yang  disinggung
ayat  tersebut. Setidaknya, ia mengisyaratkan bahwa Allah Swt.
telah merencanakan sesuatu  untuk  Nabi  Muhammad  Saw.,  jauh
sebelum  kelahiran  beliau.  Karena  itu  pula sementara pakar
menyatakan  bahwa  kematian  ayah  beliau  sebelum  kelahiran,
kepergiannya    ke    pedesaan    menjauhi    ibunya,    serta
ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi  yang
dipersiapkan  Tuhan  kepada  beliau untuk dijadikan utusan-Nya
kepada seluruh umat manusia kelak.
 
Bahkan ulama lain meyakini bahwa  pemilihan  hal-hal  tertentu
berkaitan  dengan  beliau  bukanlah  kebetulan. Misalnya bulan
lahir, hijrah, dan wafatnya pada  bulan  Rabi'ul  Awal  (musim
bunga).  Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah
(hamba Allah)  ,  ibunya  Aminah  (yang  memberi  rasa  aman),
kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang
tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan
bernama  Asy-Syifa'  (yang  sempurna  dan  sehat),  serta yang
menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang dada dan
mujur).  Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan
Nabi Muhammad Saw. Makna nama-nama  tersebut  memiliki  kaitan
yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad Saw.
 
Al-Quran  surat  Al-A'raf (7): 157 juga menginformasikan bahwa
Nabi Muhammad Saw. pada hakikatnya  dikenal  oleh  orang-orang
Yahudi  dan  Nasrani.  Hal  ini  antara lain disebabkan mereka
mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil  (QS
Al-A'raf [7]: 157).
 
Menurut  pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Quran itu,
dapat terbaca antara lain dalam Pertanjian Lama, Kitab Ulangan
33 ayat 2:
 
"...  bahwa  Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit
untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan  gemerlapan
cahayanya dari gunung Paran."
 
Pemahaman  mereka berdasarkan analisis berikut: "Gunung Paran"
menurut Kitab Pertanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat
putra   Ibrahim  -yakni  Nabi  Ismail-  bersama  ibunya  Hajar
memperoleh air (Zam-Zam). Ini berarti  bahwa  tempat  tersebut
adalah  Makkah, dan dengan demikian yang tercantum dalam Kitab
Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya
wahyu Ilahi: Thur Sina tempat Nabi Musa a.s., Seir tempat Nabi
Isa a.s. ,  dan  Makkah  tempat  Nabi  Muhammad  Saw.  Sejarah
membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah.
 
Karena  itu pula wajar jika Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 146
menyatakan bahkan  mereka  itu  mengenalnya  (Muhammad  Saw.),
sebagaimana  mereka  mengenal  anak-anak  mereka, bahkan salah
seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu
Abdullah  bin  Salam  pernah berkata, "Kami lebih mengenal dan
lebih yakin tentang kenabian Muhammad Saw. daripada pengenalan
dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan
kami menyeleweng."
 
Masa Prakenabian
 
Ada  beberapa  ayat  Al-Quran  yang  berbicara  tentang   Nabi
Muhammad Saw. sebelum kenabian beliau. Antara lain,
 
"Bukankah  Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu
Dia  melindungimu,  dan  Dia  mendapatimu  bimbang,  lalu  Dia
memberi  petunjuk  kepadamu, dan Dia mendapatimu dalam keadaan
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?" (QS Al-Dhuha [93]:
6-8).
 
Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan
dilindungi oleh paman dan  kakeknya.  Beliau  hidup  di  dalam
keresahan  dan  kebimbangan  melihat sikap masyarakatnya, lalu
Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi  dan
Rasul.  Beliau  hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan
warisan untuknya, kecuali  beberapa  ekor  kambing  dan  harta
lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah memberinya kecukupan,
khususnya menjelang  dan  saat  hidup  berumah  tangga  dengan
istrinya, Khadijah a.s.
 
Ayat  lain  yang  oleh  ulama  dianggap berbicara tentang Nabi
Muhammad Saw. pada  masa  kanak-kanaknya,  adalah  surat  Alam
Nasyrah ayat pertama:
 
"Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu?"
 
Sebagian     ulama    mengartikan    kata    nasyrah    dengan
"memotong/membedah." Memang,  bila  dikaitkan  dengan  sesuatu
yang  bersifat  materi,  artinya  demikian.  Apabila dikaitkan
dengan sesuatu yang bersifat nonmateri,  kata  itu  mengandung
arti  membuka,  memberi  pemahaman, menganugerahkan ketenangan
dan semaknanya.
 
Yang mengaitkan dengan hal-hal materi berpendapat  bahwa  ayat
ini  berbicara tentang "pembedahan" yang pernah dilakukan oleh
para malaikat terhadap Nabi Muhammad Saw. kala beliau  remaja.
Pendapat   ini   antara   lain  dikemukakan  oleh  mufasir  An
-Naisaburi.
 
Tetapi  sepanjang  penelitian  penulis  kata  tersebut  dengan
berbagai  bentuknya  terulang  sebanyak 5 kali, dan tidak satu
pun yang  digunakan  dengan  arti  harfiah,  apalagi  bermakna
pembedahan.  Akan  lebih  jelas lagi jika hal itu disejajarkan
dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa a.s. di dalam
Al-Quran.
 
"Wahai   Tuhanku,  lapangkanlah  dadaku,  mudahkanlah  untukku
urusanku  dan  lepaskanlah  kekakuan  lidahku,  supaya  mereka
mengerti perkataanku" (QS Thaha [20]: 25-28)
 
Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak
pernah membaca satu  kitab  atau  menulis  satu  kata  sebelum
datangnya wahyu Al-Quran.
 
"Engkau   tidak   pernah  membaca  satu  kitab  pun  sebelumnya
(Al-Quran), tidak juga menulis satu tulisan  dengan  tanganmu,
(andai  kata  kamu  pernah  membaca  dan  menulis)  pasti akan
benar-benar   ragulah   orang   yang   mengingkari-(mu)"   (QS
Al-'Ankabut [29]: 48).
 
Ayat  ini  secara  pasti  menyatakan  bahwa beliau Saw. adalah
orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Banyak ulama yang
memahami  bahwa  kendatipun  kemudian  Nabi  Saw. menganjurkan
umatnya belajar membaca  dan  menulis,  namun  beliau  sendiri
tidak  melakukannya, karena Allah Swt. ingin menjadikan beliau
sebagai bukti bahwa informasi  yang  diperolehnya  benar-benar
bukan bersumber dari manusia, melainkan dari Allah Swt.
 
Ada  juga  ulama  yang  memahami  bahwa  ketidakmampuan beliau
membaca  hanya  terbatas  sampai  sebelum  terbukti  kebenaran
ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti -setelah hijrah
ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut  pendukungnya
ide  ini  dikuatkan  antara  lain  oleh kata "sebelumnya" yang
terdapat pada ayat di atas.
 
Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran  (QS
Al-A'raf  [7]  157  dan 158) , dan keduanya menjadi sifat Nabi
Muhammad Saw. Memang kedua ayat itu turun di Makkah,  meskipun
ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan,
 
"Dia  (Allah)  yang  mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta
huruf), seorang Rasul di antara mereka" (QS Al-Jum'ah [62]: 2)
 
Di sisi lain, harus disadari bahwa  masyarakat  beliau  ketika
itu  menganggap  kemampuan  menulis  sebagai  bukti  kelemahan
seseorang.
 
Pada masa  itu  sarana  tulis-menulis  amat  langka,  sehingga
masyarakat  amat  mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis
dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan
kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis,
dan ketika ia  sadar  bahwa  ada  orang  yang  melihatnya,  ia
bermohon,
 
"Jangan  beri  tahu  siapa pun, karena ini (kemampuan menulis)
bagi kami adalah aib."
 
Memang, nilai-nilai dalam  masyarakat  berubah,  sehingga  apa
yang  dianggap  baik  pada  hari  ini,  boleh  jadi sebelumnya
dinilai  buruk.  Pada  masa  kini  kemampuan  menghafal  tidak
sepenting  masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah
diperoleh.
 
Masa Kenabian
 
Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat  Al-Ahqaf
ayat  15  sebagai  usia  kesempurnaan,  Muhammad Saw. diangkat
menjadi Nabi. Ditandai dengan  turunnya  wahyu  pertama  Iqra'
bismi Rabbik.
 
Sebelumnya beliau tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan
kedudukan  yang  demikian  terhormat.  Karena  itu   ditemukan
ayat-ayat  Al-Quran  yang  menguraikan  sikap  beliau terhadap
wahyu dan memberi kesan  bahwa  pada  mulanya  beliau  sendiri
"ragu"  dan  gelisah  mengenai  hal  yang dialaminya. QS Yunus
(10): 94 mengisyaratkan bahwa,
 
"Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami  turunkan  kepadamu,
maka  tanyakanlah  kepada  orang-orang yang membaca Kitab Suci
sebelum kamu (QS Yunus [10]: 94).


Kegelisahan itu bertambah besar pada saat  wahyu  yang  beliau
nanti-nantikan  tidak  kunjung datang, hingga menurut beberapa
riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon  beliau
hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah Swt. bermaksud
menjadikan beliau lebih  merindukan  lagi  "sang  kekasih  dan
firman-firman-Nya"    agar   semakin   mantap   cinta   beliau
kepada-Nya.
 
Surat  Adh-Dhuha  menyatakan  sekelumit  hal  itu,   sekaligus
sekilas  kedudukan  beliau  di  sisi  Allah.  Surat  ini turun
berkenaan  dengan  kegelisahan  Nabi  Muhammad   Saw.   karena
ketidakhadiran  Malaikat  Jibril  membawa wahyu setelah sekian
kali sebelumnya datang.
 
"Demi  adh-dhuha,  dan  malam  ketika  hening.  Tuhanmu  tidak
meninggalkan kamu dan tidak pula membenci-(mu dan siapa pun).
 
Mengapa     adh-dhuha    -yakni    "matahari    ketika    naik
sepenggalah"-yang dipilih berkaitan  dengan  wahyu-wahyu  yang
diterima  oleh  Nabi Saw., atau apakah adh-dhuha ada kaitannya
dengan ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi?
 
Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi
seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak
menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan  panasnya  memberikan
kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan.
 
Di  sini  Allah  Swt.  melambangkan kehadiran wahyu selama ini
sebagai  kehadiran  cahaya  matahari  yang  sinarnya  demikian
jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran
wahyu dinyatakan dengan kalimat, "Demi malam ketika hening."
 
Dari kedua hal yang bertolak  belakang  itu,  Allah  menafikan
dugaan  atau  tanggapan  yang  menyatakan  bahwa Muhammad Saw.
telah ditinggalkan oleh  Tuhannya,  atau  bahkan  Tuhan  telah
membencinya.  Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh
berkata  bahwa  matahari  tidak  akan  terbit   lagi,   karena
kenyataan  sehari-hari  membuktikan  kekeliruan ucapan seperti
itu. Nah,  ketidakhadiran  wahyu  beberapa  saat  tidak  dapat
dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir
lagi atau Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.
 
Ketidakhadiran  antara  lain  menjadi  isyarat   kepada   Nabi
Muhammad  Saw.  untuk  beristirahat,  karena "malam" dijadikan
Tuhan sebagai waktu "beristirahat."
 
Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran  wahyu  justru  pada
saat  Nabi  Muhammad  menanti-nantikannya,  membuktikan  bahwa
wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun  keinginan  Nabi
Saw.  meluap-luap  menantikan  kehadirannya,  namun jika Tuhan
tidak menghendaki, wahyu tidak akan  datang.  Ini  membuktikan
bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa.
 
Kenabian Muhammad Saw. bukan merupakan hal yang baru bagi umat
manusia.  Nabi  Muhammad  secara  tegas  diperintahkan   untuk
menyatakan hal itu,
 
"Katakanlah,  'Aku  bukanlah  rasul  yang  pertama  di  antara
rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang  diperbuat  terhadapku,
tidak  juga  terhadapmu.  Aku  tidak lain hanya mengikuti yang
diwahyukan  kepadaku  dan  aku  tidak  lain  seorang   pemberi
peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-Ahqaf [46]: 9)
 
Namun demikian' kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian
utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para  Nabi  dan  Rasul
diutus  untuk  masyarakat  dan  waktu  tertentu,  tetapi  Nabi
Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan
tempat,
 
"Katakanlah    (hai   Muhammad),   'Wahai   seluruh   manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk  kamu  semua'"  (QS
Al-A'raf [7]: 158)
 
Ada  sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi
Muhammad Saw.  hanya  bermaksud  mengajarkan  agamanya  kepada
orang-orang  Arab,  tetapi setelah beliau berhasil di Madinah,
beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.
 
Pendapat ini sungguh keliru, karena  sejak  di  Makkah  beliau
telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia.
 
"Katakanlah    (hai   Muhammad),   'Wahai   seluruh   manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu  semua.'"  (QS
Al-A'raf [7]: 158).
 
Ayat  ini  turun  ketika  Nabi  Saw.  sedang berada di Makkah,
bahkan menurut  sementara  ulama,  semua  ayat  Al-Quran  yang
dimulai  dengan  panggilan  "Wahai  seluruh manusia," semuanya
turun di Makkah kecuali beberapa ayat.
 
Perbedaan yang lain adalah para  nabi  sebelum  beliau  selalu
mengaitkan    kenabian    dengan    hal-hal    yang   bersifat
suprarasional,  baik  berbentuk   sihir,   pengetahuan   gaib,
mimpi-mimpi, dan lain-lain.
 
Isa a.s. misalnya bersabda,
 
"Sesungguhnya  Aku  telah datang kepadamu dengan membawa bukti
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat burung  untuk  kamu
dari  tanah, kemudian aku meniupnya sehingga ia menjadi burung
dengan seizin Allah, dan  aku  menyembuhkan  orang  yang  buta
sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak (lepra), dan aku
menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku  kabarkan
kepadamu  yang  kamu  makan  dan  yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah  suatu  tanda  (mukjizat
tentang    kebenaran    kerasulanku)    bagimu,    jika   kamu
sungguh-sungguh beriman." (QS Ali 'Imran [3]: 49)
 
Dalam Perjanjian  Baru,  Isa  a.s.  juga  menyatakan,  "Jangan
percaya  padaku,  jika  aku  tidak mengerjakan pekerjaan Bapak
..."
 
Demikian halnya Isa a.s. dan para nabi sebelumnya. Oleh karena
itu,  ketika  masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang
bersifat suprarasional, Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk
menyampaikan kalimat-kalimat berikut:
 
"Katakanlah,  'Sesungguhnya  bukti-bukti  itu  bersumber  dari
Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.'"
(QS Al-'Ankabut [29]: 50)
 
Dr.  Nazme  Luke,  seorang  pendeta  Mesir,  berkomentar bahwa
menghidupkan orang mati, mengembalikan penglihatan orang buta,
dan  lain-lain  adalah hal-hal yang sangat mengagumkan, tetapi
tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk  membuktikan  bahwa
2+2 = 5.
 
Masyarakat  pada  masa  Isa  a.s. membutuhkan bukti-bukti yang
bersifat suprarasional, karena mereka belum  mencapai  tingkat
kedewasan   yang  memadai.  Hal  ini,  tulisnya,  sama  dengan
membujuk anak kecil untuk makan, padahal jika telah dewasa, ia
akan makan tanpa dibujuk.
 
Memang  Nabi  Muhammad  Saw.  tidak  mengandalkan hal-hal yang
bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya.
 
Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran  dan
diri  beliau  sendiri  yang  ummi  (tidak  pandai  membaca dan
menulis). Para pakar bersepakat  dengan  menggunakan  berbagai
tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang
pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan
 
Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes,
Hero,  Worship  and  the  Heros  in History dengan menggunakan
tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will Durant  dalam  The
Story  of  Civilization  in  the World dengan tolok ukur hasil
karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Buddha, and Christ, dengan
tolok   ukur  keberanian  moral,  Nazme  Luke  dalam  Muhammad
Al-Rasul wa Al-Risalah dengan  tolok  ukur  metode  pembuktian
ajaran, serta Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh
dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan tolok ukur
pengaruh serta sederetan pakar lainnya.
 
"Mustahil  bagi  siapa  pun  yang  mempelajari  kehidupan  dan
karakter Muhammad (Saw.), hanya mempunyai perasaan hormat saja
terhadap   Nabi  mulia  itu.  Ia  akan  melampauinya  sehingga
meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar  dari
sang  Pencipta,"  demikian Annie Besant menulis dalam The Life
and Teachings of Muhammad.
 
Dalam  konteks  ini  Al-Quran  surat  Alam  Nasyrah   ayat   4
menyatakan,
 
"Sesungguhnya Kami pasti akan meninggikan namamu."
 
Dalam ayat lain dinyatakan:
 
"Wahai  seluruh  manusia,  telah datang kepada kamu bukti yang
sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad Saw.), dan Kami telah
(pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)" (QS
Al-Nisa' [4]: 174).
 
Akhlak dan Fungsi Kenabian Muhammad Saw.
 
Al-Quran  mengakui  secara  tegas  bahwa  Nabi  Muhammad  Saw.
memiliki  akhlak  yang  sangat  agung.  Bahkan dapat dikatakan
bahwa  konsideran  pengangkatan  beliau  sebagai  nabi  adalah
keluhuran  budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga
yang antara lain menyatakan bahwa:
 
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada  di  atas  akhlak  yang
agung" (QS Al-Qalam [68]: 4).
 
Kata  "di  atas"  tentu  mempunyai  makna  yang  sangat dalam,
melebihi kata lain, misalnya, pada tahap/dalam keadaan  akhlak
mulia
 
Seperti  dikemukakan  di atas, Al-Quran surat Al-An'am ayat 90
menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18  nama  Nabi/Rasul.
Setelah  kedelapan  belas  nama disebut, Allah berpesan kepada
Nabi Muhammad Saw.,
 
"Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka
hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh."
 
Ulama-ulama   tafsir   menyatakan   bahwa   Nabi   Saw.  pasti
memperhatikan benar pesan ini. Hal itu terbukti  antara  lain,
ketika salah seorang pengikutnya mengecam kebijaksanaan beliau
saat membagi harta rampasan perang, beliau  menahan  amarahnya
dan menyabarkan diri dengan berkata,
 
"Semoga  Allah merahmati Musa a s. Dia telah diganggu melebihi
gangguan yang kualami ini, dan dia bersabar  (maka  aku  lebih
wajar bersabar daripada Musa a s.)."
 
Karena  itu  pula  sebagian  ulama  tafsir menyimpulkan, bahwa
pastilah  Nabi  Muhammad  Saw.  telah  meneladani  sifat-sifat
terpuji para nabi sebelum beliau
 
Nabi  Nuh  a.s.  dikenal  sebagai seorang yang gigih dan tabah
dalam berdakwah. Nabi Ibrahim  a.s.  dikenal  sebagai  seorang
yang  amat  pemurah, serta amat tekun bermujahadah mendekatkan
diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal  sebagai  nabi  yang
amat  menonjolkan  rasa  syukur  serta penghargaannya terhadap
nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s., Yahya  a.s.,  dan  Isa  a.s.,
adalah  nabi-nabi  yang  berupaya menghindari kenikmatan dunia
demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.
 
Nabi Yusuf a.s.  terkenal  gagah,  dan  amat  bersyukur  dalam
nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. diketahui
sebagai nabi  yang  amat  khusyuk  ketika  berdoa,  Nabi  Musa
terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki ketegasan, Nabi
Harun  a.s.  sebaliknya,  adalah  nabi   yang   penuh   dengan
kelemahlembutan.  Demikian  seterusnya, dan Nabi Muhammad Saw.
meneladani semua keistimewaan mereka itu.
 
Ada beberapa sifat Nabi Muhammad  Saw.  yang  ditekankan  oleh
Al-Quran, antara lain,
 
"Sesungguhnya  telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya  penderitaanmu  (umat  manusia),
serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat
tinggi belas kasihannya serta penyayang  terhadap  orang-orang
mukmin" (QS Al-Tawbah [9]: 128).
 
Begitu   besar  perhatiannya  kepada  umat  manusia,  sehingga
hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi  mengajak  mereka
beriman  (baca  QS  Syu'ara  [26]:  3). Begitu luas rahmat dan
kasih  sayang  yang  dibawanya,  sehingga  menyentuh  manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.
 
Sebelum  Eropa  memperkenalkan  Organisasi  Pencinta Binatang,
Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan,
 
"Bertakwalah   kepada   Allah   dalam   perlakuanmu   terhadap
binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan baik."
 
"Seorang  wanita  terjerumus  ke  dalam  neraka  karena seekor
kucing yang dikurungnya."
 
"Seorang wanita yang bergelimang dosa  diampuni  Tuhan  karena
memberi minum seekor anjing yang kehausan."
 
Rahmat  dan  kasih  sayang yang dicurahkannya sampai pula pada
benda-benda tak bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai,
pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan
benda-benda  tak  bernyawa  itu  mempunyai  kepribadian   yang
membutuhkan   uluran   tangan,   rahmat,   kasih  sayang,  dan
persahabatan.
 
Diakui  bahwa  Muhammad   Saw.   diperintahkan   Allah   untuk
menegaskan bahwa,
 
"Aku  tidak  lain  kecuali  manusia seperti kamu, (tetapi aku)
diberi wahyu ..." (QS Al-Kahf [18]: 110).

Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam  naluri,
fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat
dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan  Tuhan  dan
kedudukan   istimewa  di  sisi-Nya,  sedang  yang  lain  tidak
demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu  yang  sama
jenisnya  dengan  batu  yang  di  jalan,  tetapi  ia  memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh  batu-batu  lain.  Dalam
bahasa  tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah
basyariyah bukan  pada  insaniyah."  Perhatikan  bunyi  firman
tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.
 
Atas  dasar  sifat-sifat  yang agung dan menyeluruh itu, Allah
Swt. menjadikan beliau sebagai  teladan  yang  baik  sekaligus
sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan)
 
"Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi
yang  mengharapkan  (ridha)  Allah  dan   ganjaran   di   hari
kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
 
Keteladanan  tersebut  dapat  dilakukan  oleh  setiap manusia,
karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji  yang  dapat
dimiliki oleh manusia
 
Dalam  konteks  ini,  Abbas  Al-Aqqad,  seorang  pakar  Muslim
kontemporer menguraikan bahwa manusia  dapat  diklasifikasikan
ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun
beribadah.
 
Sejarah hidup Nabi  Muhammad  Saw.  membuktikan  bahwa  beliau
menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut.
Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta
pemikiran-pemikirannya  sungguh  mengagumkan setiap orang yang
bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim  akan  kagum
berganda  kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui
kacamata ilmu  dan  kemanusiaan,  dan  kedua  kali  pada  saat
memandangnya dengan kacamata iman dan agama.
 
Banyak  fungsi  yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw.,
antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan)  (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara
pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.
 
Di sini fungsi beliau sebagai  syahid/syahid  akan  dijelaskan
agak mendalam.
 
Demikian  itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu
menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad Saw.)
menjadi saksi terhadap kamu ... (QS Al-Baqarah [2]: 143)
 
Kata  syahid/syahid  antara  lain  berarti "menyaksikan," baik
dengan   pandangan   mata   maupun   dengan   pandangan   hati
(pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada
posisi  tengah,  agar  mereka  tidak  hanyut   pada   pengaruh
kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam
ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada  di
antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi
saksi dalam  arti  patron/teladan  dan  skala  kebenaran  bagi
umat-umat  yang  lain,  sedangkan  Rasulullah  Saw.  yang juga
berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan  teladan
bagi  umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa kata
tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. akan  menjadi  saksi
di  hari  kemudian  terhadap  umatnya dan umat-umat terdahulu,
seperti bunyi firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa'  (4):
41:
 
Maka  bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami
menghadirkan  seorang  saksi  dari  tiap-tiap  umat  dan  Kami
hadirkan  pula engkau (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka
(QS Al-Nisa, [4]: 41).
 
Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih  oleh  mereka  yang
menelusuri  jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka
mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka
yang  menurut  Ibnu  Sina  disebut  "orang  yang  arif," mampu
memandang rahasia Tuhan  yang  terbentang  melalu  qudrat-Nya.
Tokoh  dari  segala saksi adalah Rasulullah Muhammad Saw. yang
secara tegas  di  dalam  ayat  ini  dinyatakan  "diutus  untuk
menjadi syahid (saksi)."
 
Sikap Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad Saw.
 
Dari  penelusuran  terhadap ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa
para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. telah diseru  oleh  Allah
dengan  nama-nama  mereka;  Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa...,
dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw., Allah Swt.
sering  memanggilnya  dengan  panggilan  kemuliaan, seperti Ya
ayyuhan Nabi..., Ya ayyuhar Rasul..., atau memanggilnya dengan
panggilan-panggilan  mesra,  seperti  Ya  ayyuhal muddatstsir,
atau ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalau
pun  ada  ayat  yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi
dengan gelar kehormatan.  Perhatikan  firman-Nya  dalam  surat
Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan
Al-Shaff (61): 6.
 
Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa  Al-Quran  berpesan
kepada kaum mukmin.
 
"Janganlah  kamu  menjadikan  panggilan kepada Rasul di antara
kamu, seperti panggilan sebagian  kamu  kepada  sebagian  yang
lain... (QS Al-Nur [24]: 63).
 
Sikap  Allah  kepada  Rasul  Saw.  dapat  juga  dilihat dengan
membandingkan sikap-Nya terhadap Musa a.s.
 
Nabi Musa a.s. bermohon agar Allah  menganugerahkan  kepadanya
kelapangan  dada,  serta  memohon agar Allah memudahkan segala
persoalannya.
 
"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku  dan  mudahkanlah  untukku
urusanku (QS Thaha [20]: 25-26).
 
Sedangkan  Nabi  Muhammad  Saw. memperoleh anugerah kelapangan
dada tanpa  mengajukan  permohonan.  Perhatikan  firman  Allah
dalam  surat  Alam  Nasyrah,  Bukankah  Kami telah melapangkan
dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1).
 
Dapat diambil kesimpulan  bahwa  yang  diberi  tanpa  bermohon
tentunya   lebih   dicintai   daripada   yang  bermohon,  baik
permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak.
 
Permohonan Nabi Musa a.s. adalah  agar  urusannya  dipermudah,
sedangkan   Nabi  Muhammad  Saw.  bukan  sekadar  urusan  yang
dimudahkan Tuhan, melainkan beliau  sendiri  yang  dianugerahi
kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi
-dengan pertolongan Allah-beliau akan mampu  menyelesaikannya.
Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad
dalam surat Al-A'la (87): 8:
 
"Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."
 
Mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena  satu
dan  lain  sebab-tidak  mampu  menghadapinya. Tetapi jika yang
bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan
tetap akan terselesaikan.
 
Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja.
Juga dengan  keistimewaan  kedua,  yaitu  "jalan  yang  beliau
tempuh  selalu  dimudahkan  Tuhan"  sebagaimana tersurat dalam
firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke  jalan  yang  mudah."
(QS Al-A'la [87]: 8).
 
Dari  sini  jelas  bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad
Saw. melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa  a.s.,  karena
beliau  tanpa  bermohon  pun  memperoleh  kemudahan  berganda,
sedangkan Nabi Musa a.s. baru memperoleh  anugerah  "kemudahan
urusan" setelah mengajukan permohonannya.
 
Itu  bukan  berarti  bahwa  Nabi Muhammad Saw. dimanjakan oleh
Allah, sehingga beliau tidak akan  ditegur  apabila  melakukan
sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan.
 
Dari  Al-Quran  ditemukan  sekian banyak teguran-teguran Allah
kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut
 
Perhatikan teguran firman Allah  ketika  beliau  memberi  izin
kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang.
 
"Allah   telah  memaafkan  kamu.  Mengapa  engkau  mengizinkan
mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah  terbukti
bagimu  siapa  yang  berbohong dalam alasannya, dan siapa pula
yang berkata benar (QS Al-Tawbah [9]: 43)
 
Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa  beliau
telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya."
 
Teguran  keras  baru  akan  diberikan  kepada  beliau terhadap
ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui  secara  pasti
orang  yang  diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun
ketika  beliau  merasa  dapat  menetapkan  siapa  yang  berhak
disiksa.
 
"Engkau  tidak  mempunyai  sedikit  urusan pun. (Apakah) Allah
menerima tobat mereka atau menyiksa mereka (QS Ali 'Imran [3]:
128).
 
Perhatikan  teguran  Allah  dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada
Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau melayani  orang  buta  yang
datang  meminta  untuk  belajar  pada  saat  Nabi  Saw. sedang
melakukan  pembicaraan  dengan  tokoh-tokoh  kaum  musyrik  di
Makkah
 
"Dia  (Muhammad)  bermuka  masam  dan  berpaling, karena telah
datang seorang buta kepadanya..."
 
Teguran ini dikemukakan dengan  rangkaian  sepuluh  ayat,  dan
diakhiri dengan:
 
"Sekali-kali  jangan  (demikian).  Sesungguhnya  ajaran-ajaran
Allah adalah suatu peringatan" (QS 'Abasa [80]: 11).
 
Nabi berpaling dan  sekadar  bermuka  masam  ketika  seseorang
mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat;
hakikatnya dapat dinilai sudah  sangat  baik  bila  dikerjakan
oleh  manusia biasa. Namun karena Muhammad Saw. adalah manusia
pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang  dalam
istilah Al-Quran disebut zanb (dosa).
 
Dalam  hal  ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar,
sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan  yang
dilakukan  oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa
(bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan."
 
                          --oo0oo--
 
Disadari sepenuhnya bahwa uraian tentang  Nabi  Muhammad  Saw.
amat  panjang,  yang  dapat  diperoleh  secara tersirat maupun
tersurat dalam Al-Quran,  maupun  dari  sunnah,  riwayat,  dan
pandangan para pakar. Tidak mungkin seseorang dapat menjangkau
dan  menguraikan  seluruhnya,   karena   itu   sungguh   tepat
kesimpulan yang diberikan oleh penyair Al-Bushiri,
 
"Batas  pengetahuan  tentang beliau, hanya bahwa beliau adalah
seorang manusia, dan bahwa beliau adalah  sebaik-baik  makhluk
Allah seluruhnya."
 
Allahumma shalli wa sallim 'alaih. []

0 komentar:

Posting Komentar

Design by JokoRowoTlogoRejo Islam itu Indah I Love Islam