Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan menggantikan Khalifah IV,Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salahseorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan,"Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Iamemperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah, "Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. WahaiAllah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri,tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi,tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumberdari-Mu (HR Bukhari). Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segalasesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusiasedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai olehbanyak pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doaitu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenanganpemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulisAbdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalamAl-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203). Tentu saja, pandangan tersebut tidak diterima olehkebanyakan ulama. Ada yang demikian menggebu menolaknyasehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataanla qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apasaja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusiakebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukumkalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allahsendiri menegaskan, "Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yanghendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29). Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannyasendiri-sendiri. Namun demikian, pandangan ini jugadisanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah.Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah "Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QSAl-Shaffat [37]: 96). Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yangkita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnyabukankah Al-Quran menegaskan bahwa, "Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecualidengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30). Demikian sedikit dari banyak perdebatan yang tak kunjunghabis di antara para teolog. Masing-masing menjadikanAl-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yangmencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka. Kemudian didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankankedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalamberbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua diatas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya Yang jelas, Nabi dan sahabat-sahabat utama beliau, tidakpernah mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh parateolog itu. Mereka sepenuhnya yakin tentang takdir Allahyang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapisedikit pun keyakinan ini tidak menghalangi merekamenyingsingkan lengan baju, berjuang, dan kalau kalahsedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah.Sikap Nabi dan para sahabat tersebut lahir, karena merekatidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat demiayat, atau sepotong-sepotong terlepas dari konteksnya,tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana diajarkan olehRasulullah Saw.
Takdir dalam Bahasa Al-Quran
Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari
akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi
kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah
menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah
memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau
kemampuan maksimal makhluk-Nya."
Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua
makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak
dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntun
dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.
Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat
Al-A'la (Sabihisma),
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan
(semua mahluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir
kemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3).
Karena itu ditegaskannya bahwa:
"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah
takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi
Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).
Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat di
atas:
"Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang
tua" (QS Ya Sin [36]: 39)
Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan
atasnya,
"Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia
menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan
sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).
"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah
khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali
dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).
Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir.
Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut
contoh, yakni rerumputan.
"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu
dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS
Sabihisma [87]: 4-53)
Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia
layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya,
kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt., melalui
hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti
jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka
siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa
pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti
ia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan ahwa
seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau
seluruh makhluk-Nya. Walhasil,
"Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QS
Al-Thalaq [65]: 3)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi
kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat
dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak
ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan
ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat
disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering
secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."
Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah
dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh
Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku
bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum
kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Al-Quran
"sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina"
sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya
mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada
masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38, 62 atau
Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.
Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan
oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar,
"Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka
atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengar
penuh ketaatan."
Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan
"keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."
Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknya
tidak sepenuhnya sama.
Takdir dalam Bahasa Al-Quran Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dariakar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberikadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telahmenakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telahmemberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, ataukemampuan maksimal makhluk-Nya." Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semuamakhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidakdapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntundan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan SuratAl-A'la (Sabihisma), "Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan(semua mahluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdirkemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3). Karena itu ditegaskannya bahwa: "Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulahtakdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagiMaha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38). Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat diatas: "Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulanmanzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilahyang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yangtua" (QS Ya Sin [36]: 39) Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhanatasnya, "Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Diamenetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengansesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2). "Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilahkhazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecualidengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21). Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir.Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebutcontoh, yakni rerumputan. "Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, laludijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QSSabihisma [87]: 4-53) Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ialayu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya,kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt., melaluihukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berartijika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, makasiramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpapemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pastiia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan ahwaseperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkauseluruh makhluk-Nya. Walhasil, "Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QSAl-Thalaq [65]: 3) Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisikejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempatdan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidakada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia.Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan danketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapatdisimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang seringsecara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam." Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullahdengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan olehAl-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlakubagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukumkemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Al-Quran"sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina"sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanyamengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku padamasyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38, 62 atauFathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain. Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkanoleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar, "Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, sukaatau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengarpenuh ketaatan." Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan"keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya." Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknyatidak sepenuhnya sama.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuranyang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya,tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran ataubatas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidakmampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnyauntuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyaiukuran yang tidak mampu dilampaui. Di sisi lain, manusiaberada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kitalakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telahmempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hanya saja karenahukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuanmemilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- makakita dapat memilih yang mana di antara takdir yangditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Apiditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkankesejukan atau dingin; itu takdir Tuhan -manusia bolehmemilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Di sinilahpentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjukIlahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah: "Wahai Allah, jangan engkau biarkan aku sendiri (denganpertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap." Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadiwabah, Umar ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksudberkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketikaitu tampil seorang bertanya: "Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?" Umar r.a. menjawab, "Saya lari/menghindar dan takdir Tuhan kepada takdir-Nyayang lain." Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar disatu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempatlain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya sepertipertanyaan di atas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinyadengan jawaban Khalifah Umar r.a. Rubuhnya tembok,berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yangtelah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar iaakan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu jugaadalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput darimarabahaya maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telahmenganugerahkan manusia kemampuan memilah dan memilih?Kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atautakdir yang dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidakdapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk. Tidakbijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebuttakdir, karena yang positif pun takdir. Yang demikianmerupakan sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangandengan petunjuk Nabi Saw.,' "... dan kamu harus percayakepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk." Dengandemikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidakmenghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannyasendiri, sambil memohon bantuan Ilahi Apakah Takdir Merupakan Rukun Iman? Perlu digarisbawahi bahwa dari sudut pandang studi Al-Quran,kewajiban mempercayai adanya takdir tidak secara otomatismenyatakannya sebagai satu di antara rukun iman yang enam.Al-Quran tidak menggunakan istilah "rukun" untuk takdir,bahkan tidak juga Nabi Saw. dalam hadis-hadis beliau.Memang, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyakpakar hadis, melalui sahabat Nabi Umar ibn Al-Khaththab,dinyatakan bahwa suatu ketika datang seseorang yangberpakaian sangat putih, berambut hitam teratur, tetapitidak tampak pada penampilannya bahwa ia seorang pendatang,namun, "tidak seorang pun di antara kami mengenalnya."Demikian Umar r.a. Dia bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan,dan saat kiamat serta tanda-tandanya. Nabi menjawab antaralain dengan menyebut enam perkara iman, yakni percaya kepadaAllah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, hari kemudian, dan "percaya tentang takdir-Nyayang baik dan yang buruk." Setelah sang penanya pergi, Nabi menjelaskan bahwa, "Dia itu Jibril, datang untuk mengajar kamu, agama kamu." Dari hadis ini, banyak ulama merumuskan enam rukun Imantersebut. Seperti dikemukan di atas, Al-Quran tidak menggunakan katarukun, bahkan Al-Quran tidak pernah menyebut kata takdirdalam satu rangkaian ayat yang berbicara tentang kelimaperkara lain di atas. Perhatikan firman-Nya dalam suratAl-Baqarah (2): 285, "Rasul percaya tentang apa yang diturunkan kepadanya dariTuhannya, demikian juga orang-orang Mukmin. Semuanya percayakepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian." Dalam QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan: "Wahai orang-orang yang beriman, (tetaplah) percaya kepadaAllah dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepadaRasul-Nya, dan kitab yang disusunkan sebelum (Al-Quran).Barangsiapa yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudiam, makasesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya." Bahwa kedua ayat di atas tidak menyebutkan perkara takdir,bukan berarti bahwa takdir tidak wajib dipercayai. Tidak!Yang ingin dikemukakan ialah bahwa Al-Quran tidakmenyebutnya sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengankelima perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas.Karena itu, agaknya dapat dimengerti ketika sementara ulamatidak menjadikan takdir sebagai salah satu rukun iman,bahkan dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebuttiga hal pokok, yaitu keimanan kepada Allah, malaikat, danhari kemudian. Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepadamalaikat mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan(wahyu Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabidan Rasul. Bahkan jika kita memperhatikan beberapa hadis Nabi,seringkali beliau hanya menyebut dua perkara, yaitu percayakepada Allah dan hari kemudian. "Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, makahendaklah ia menghormati tamunya. Siapa yangpercaya kepadaAllah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menyambung talikerabatnya. Siapa yang percaya kepada Allah dan harikemudian, maka hendaklah ia berkata benar atau diam." Demikian salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukharidan Muslim melalui Abu Hurairah. Al-Quran juga tidak jarang hanya menyebut dua di antarahal-hal yang wajib dipercayai. Perhatikan misalnya suratAl-Baqarah (2): 62, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabizaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang ataudewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benarberiman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh,maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhanmereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak jugamereka akan bersedih." Ayat ini tidak berarti bahwa yang dituntut dari semuakelompok yang disebut di atas hanyalah iman kepada Allah danhari kemudian, tetapi bersama keduanya adalah iman kepadaRasul, kitab suci, malaikat, dan takdir. Bahkan ayattersebut dan semacamnya hanya menyebut dua hal pokok, tetapitetap menuntut keimanan menyangkut segala sesuatu yangdisampaikan oleh Rasulullah Saw., baik dalam enam perkarayang disebut oleh hadis Jibril di atas, maupun perkaralainnya yang tidak disebutkan. Demikianlah pengertian takdir dalam bahasa dan penggunaanAl-Quran.
|
0 komentar:
Posting Komentar