Hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu Dalil Zakat Barang Dagangan?



Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى -أَبُو دَاوُدَ-، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ –سُلَيْمَانَ- عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رضي الله عنه قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَان يَأمُرُنا أَن نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

Muhammad bin Dawud bin Sufyan berkata kepada kami: Yahya bin Hassan berkata kepada kami: Sulaiman bin Musa -Abu Dawud- berkata kepada kami: Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundub berkata kepada kami: Khubaib bin Sulaiman berkata kepadaku, dari bapaknya –Sulaiman–, dari Samurah bin Jundub1 radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah (zakat) dari apa yang kita siapkan untuk diperdagangkan.”

Takhrij Hadits
Abu Dawud rahimahullahu meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya As-Sunan, Kitab Az-Zakat (2/95) no. 1562, beliau diamkan hadits ini tanpa memberikan komentar.
Melalui jalan Abu Dawud, Al-Baihaqi meriwayatkan hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu dalam As-Sunan (4/146-147).
Dikeluarkan pula oleh Ad-Daruquthni rahimahullahu dalam Sunan-nya (2/309 cet. Dar Al-Ma’rifah) dari jalan Ja’far bin Sa’d dari Khubaib bin Sulaiman dari bapaknya dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, dengan lafadz yang berbeda dengan riwayat Abu Dawud, di akhirnya dikatakan:
... وَكَانَ يَأمُرُنا أَن نُخْرِجَ مِنَ الرَّقِيقِ الَّذِي يُعَدُّ لِلْبَيْعِ
“… dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita mengeluarkan zakat dari budak yang dipersiapkan untuk diperdagangkan.”
Sanad hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu ini dha’if (lemah), padanya ada Ja’far bin Sa’d, Khubaib bin Sulaiman dan bapaknya, Sulaiman.
Rawi pertama, dia adalah Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundub Al-Fazari, berkata Ibnu Hajar rahimahullahu: “Laisa bil qawi.” (Dia bukan orang yang kuat).
Rawi kedua, Khubaib. Dia adalah Khubaib bin Sulaiman bin Samurah bin Jundub Abu Sulaiman Al-Kufi, Ibnu Hajar rahimahullahu berkata tentangnya: “Majhul.” (Tidak dikenal).
Adapun rawi ketiga dia adalah Sulaiman bin Samurah bin Jundub Al-Fazari. Ibnu Hajar rahimahullahu berkata tentangnya: “Maqbul.”2
Ibnu Hibban rahimahullahu menyebutkan ketiganya dalam Ats-Tsiqat (6/137), (6/274) dan (4/312). Namun penyebutan itu tidak bisa dijadikan hujjah untuk menguatkan hadits ini, mengingat manhaj (metode) beliau yang tasahul (bermudah-mudah) dalam menguatkan rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal).3
Hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu didha’ifkan Ibnu Hazm sebagaimana dalam Al-Muhalla, demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi rahimahumullah.
Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Wa isnaduhu layyin.” (Dan sanad haditsnya lemah) (Bulughul Maram, no. 623)
Beliau juga berkata: “Fi isnadihi jahalah.” (Dalam sanadnya ada rawi-rawi yang majhul). (At-Talkhish, 2/179)
Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata: “Dia (yakni Ja’far bin Sa’d) memiliki hadits tentang zakat dari anak pamannya (yakni Khubaib). Ibnu Hazm menolak hadits ini dan berkata: ‘Keduanya majhul ...’ Kesimpulannya (hadits Samurah) sanadnya gelap.” (Mizanul I’tidal, 1/407)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu mendha’ifkannya dalam Irwa’ul Ghalil (3/310, no. 827).
Wallahu ta’ala a’lam.

Makna hadits
Hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu menunjukkan kewajiban zakat atas barang-barang yang diperjualbelikan. Zakat inilah yang diistilahkan dengan zakat ‘urudh tijarah (barang-barang yang diperjualbelikan) –selanjutnya kita katakan zakat ‘urudh tijarah–.
Hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu –seandainya shahih– tegas menunjukkan kewajiban tersebut karena adanya perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hukum asal dari perintah adalah wajib selama tidak ada dalil lain yang memalingkannya dari kewajiban.
Ash-Shan’ani rahimahullahu (wafat 1182 H) berkata: “Hadits ini adalah dalil atas diwajibkannya zakat pada barang dagangan. Dijadikan dalil pula atas wajibnya (zakat ‘urudh tijarah) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian hasil usahamu yang baik-baik.” (Al-Baqarah: 267)
Mujahid rahimahullahu berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan harta perdagangan.” (Subulus Salam, 2/136)
Menjadikan hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu sebagai dalil wajibnya zakat ‘urudh tijarah bisa diterima bagi mereka yang melihat keabsahan hadits ini. Ibnu Abdil Barr rahimahullahu misalnya, beliau menghasankan hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Az-Zaila’i Al-Hanafi rahimahullahu dalam Nashbur-Rayah (2/376).
Akan tetapi hadits ini dha’if, sehingga untuk membangun sebuah hukum dibutuhkan dalil lain yang menetapkan adanya zakat ‘urudh tijarah.
Ulama kita -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka- telah berbeda pendapat dalam masalah zakat ‘urudh tijarah dengan perbedaan yang cukup kuat, sebagaimana pula mereka bersilang pendapat dalam beberapa masalah zakat lainnya.
Pembaca rahimakumullah. Pada kesempatan yang berbahagia ini dengan mengharap rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala sejenak kita simak pendapat yang disebutkan dalam masalah zakat ‘urudh tijarah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat dan taufik kepada kita semua.

Pendapat jumhur ulama tentang zakat Tijarah
Jumhur ulama, di antaranya imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat wajibnya zakat urudh tijarah. Bahkan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’ menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) akan kewajiban tersebut.
Pendapat ini dinisbatkan kepada sahabat Umar bin Al-Khaththab, putranya, dan juga Abdullah bin Abbas g.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Adapun barang-barang yang diperdagangkan, maka padanya ada zakat. Ibnul Mundzir berkata: ‘Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan ahlul ilmi bahwa pada barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan dikenai zakat, jika telah genap satu tahun (haul).
Pendapat ini diriwayatkan dari Umar dan putranya, Ibnu Abbas g. Ini pula pendapat tujuh fuqaha’, Al-Hasan, Jabir bin Zaid, Maimun bin Mihran, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid …” (Majmu’ Fatawa 23/15)
Di atas pendapat jumhur tersebut, banyak ulama masa kini yang mengikutinya. Seperti Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, sebagaimana tampak pada beberapa fatwa mereka yang akan kita nukilkan, insya Allah.

Dalil-dalil Jumhur
Pendapat jumhur, disandarkan pada dalil-dalil di antaranya:
Pertama: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu...” (Al-Baqarah: 267)
Mujahid rahimahullahu menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ﮙ ﮚ dengan tijarah (perdagangan).
Al-Bukhari rahimahullahu membuat bab dalam Shahih-nya untuk ayat ini dengan judul, “Bab Shadaqatu Al-Kasbi wat Tijarah.” (Bab zakat usaha dan perdagangan)

Kedua: Hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu yang sedang kita bahas:
كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah (zakat) dari barang-barang yang kita siapkan untuk diperdagangkan.”

Ketiga: Hadits Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
... فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهَا
“… Pada unta ada zakat, pada kambing ada zakat, dan pada baju/kain (yang diperdagangkan) ada zakat.”4

Keempat: Jumhur juga berdalil dengan ijma’ (kesepakatan ulama) tentang zakat ‘urudh tijarah. Ijma’ (kesepakatan) ulama tersebut dinukilkan Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam (157-224 H) dan Ibnul Mundzir Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim (242-318 H).
Abu ‘Ubaid rahimahullahu berkata: “…Kaum muslimin bersepakat bahwa zakat adalah fardh dan wajib atasnya (yakni pada ‘urudh tijarah).” (Al-Amwal hal. 434 no. 1202)
Ibnul Mundzir rahimahullahu berkata: “Dan mereka bersepakat (ijma’) bahwa barang-barang yang diperdagangkan dikenai zakat jika genap satu tahun.” (Al-Ijma’, hal. 85 no. 137)
Ibnu Hubairah rahimahullahu berkata: “Mereka bersepakat bahwa dalam barang-barang yang diperdagangkan –apapun barangnya– ada zakat, jika nilai/harganya telah mencapai nishab emas atau perak. Padanya ada zakat sebesar seperempat puluh.” (Al-Ifshah 1/208)

Kelima: Jumhur juga berdalil dengan beberapa atsar mauquf dan maqthu’ di antaranya:
a) Atsar Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Dari Abu ‘Amr bin Himas Al-Laitsi dari bapaknya dia berkata:
مَرَّ بِي عُمَرُ فَقَالَ: يَا حِمَاسُ أَدِّ زَكَاةَ مَالِكَ! قُلْتُ: مَا لِي مَالٌ إِلَّا جِعَابٌ وَأدمٌ. فَقَالَ: قَوِّمْهَا قِيْمَةً ثُمَّ أَدِّ زَكَاتَهَا
Umar berjumpa denganku lalu berkata: “Wahai Himas, keluarkan zakat hartamu!” Maka kukatakan: “Aku tidak memiliki harta kecuali kecuali ji’ab5 dan kulit.” Berkata Umar: “Hargailah barangmu kemudian keluarkan zakatnya.”6
b) Atsar Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma:
لَيْسَ فِي الْعُرُوضِ زَكَاةٌ إِلَّا مَا كَانَ لِلتِّجَارَةِ
“Tidak ada zakat pada barang-barang kecuali apa yang diperjualbelikan.”7
c) Atsar Umar bin Abdul Aziz rahimahullahu, beliau berkata pada sebagian amilnya:
انْظُرْ مَنْ مَرَّ بِكَ مِنَ الْـمُسْلِمِينَ فَخُذْ مِمَّا ظَهَرَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ مِمَّا يُدِيرُونَ مِنَ التِّجَارَاتِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِيْنَارًا ...
“Lihatlah siapa yang kau jumpai dari kalangan muslimin, ambillah apa yang tampak dari harta-harta mereka yang mereka kelola dalam perdagangan, dari masing-masing empat puluh dinar diambil zakatnya satu dinar… “8

Keenam: Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan dari amalannya sesuai apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun’alaih)
Sisi pendalilannya, dikatakan: Orang yang berdagang tidak menjadikan barang dagangannya sebagai maksud, tetapi tujuan dan niat sesungguhnya adalah uang (mencari laba). Maka barang-barang itu sesungguhnya uang yang diharapkan labanya. Demikian pula apa yang ada pada niatan para pedagang.
Dikatakan pula, seandainya uang yang disimpan oleh orang-orang biasa -tanpa ada harapan tambahan- saja ada zakatnya jika telah mencapai nishab dan genap satu tahun, lebih-lebih lagi harta orang-orang kaya, para pedagang, yang terus berkembang dan diniatkan labanya tentu masuk dalam zakat.
Demikian beberapa dalil yang dikemukakan jumhur ulama. Allahu a’lam.

Bagaimana menghitung zakat yang dikeluarkan dari harta perdagangan?
Jika telah genap satu tahun (haul) sejak meniatkan atas suatu barang untuk diperdagangkan hendaknya dilihat barang dagangannya untuk ditetapkan berapa nilai/harganya saat itu. Nilai/harga barang dagangannya ini kemudian ditambahkan dengan uang tunai yang ada. Jika jumlah konversi barang dan uang tunai yang dimilikinya telah mencapai salah satu nishab emas atau perak maka dikeluarkan zakatnya (1/40) atau 2,5 persen.
Beberapa keterangan penting mengenai haul dan perhitungan zakat uang termasuk ‘urudh tijarah dapat dilihat kembali pada majalah kita Vol. IV/No. 45/1429 H/2008 hal. 55-59, rubrik Problema Anda, dengan judul Zakat Uang.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu ditanya tentang seorang yang memiliki usaha berbagai jenis perdagangan, seperti baju-baju, bejana-bejana, atau lainnya. Bagaimana cara dia mengeluarkan zakatnya?
Beliau menjawab: “Wajib atasnya mengeluarkan zakat atas barang-barang yang diperdagangkan jika telah sempurna haulnya (genap satu tahun) dan (nilai/harga barang dagangannya) mencapai nishab emas atau perak, berdasarkan hadits-hadits dalam masalah ini. Di antaranya hadits Samurah bin Jundub dan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhuma.” (Fatawa Ibn Baz, 14/159)
Dalam kesempatan lain, beliau ditanya tentang cara mengeluarkan zakat atas tanah atau sejenisnya (yang diperdagangkan), cukupkah zakat dikeluarkan sekali saat terjualnya barang setelah beberapa tahun sebelumnya tidak terjual?
Beliau menjawab: “Jika tanah atau sejenisnya seperti rumah, mobil, atau lainnya diperdagangkan, maka diwajibkan zakat setiap tahunnya sesuai nilai/harga barang tersebut saat sempurnanya haul. Tidak boleh mengakhirkan zakat kecuali bagi yang tidak mampu mengeluarkan zakatnya karena tidak ada harta kecuali barang dagangan. (Dalam keadaan ini) boleh baginya menunda zakat hingga terjualnya barang. (Jika terjual) dia tunaikan zakat-zakat dari semua tahun (yang belum dia bayarkan zakatnya), masing-masing tahun dikeluarkan zakatnya sesuai nilai/harga barang di tahun itu …” (Fatawa Ibn Baz 14/161)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu ditanya tentang seorang yang membeli sebidang tanah untuk tempat tinggal. Tiga tahun kemudian dia berniat untuk memperdagangkan tanah tersebut, apakah ada zakat atas tanah pada tiga tahun yang telah berlalu (yang tidak dia niatkan untuk diperdagangkan)?
Beliau menjawab: “Tidak wajib zakat atasnya karena pada tiga tahun yang telah lalu dia menghendaki tanahnya untuk ditinggali, akan tetapi sejak dia niatkan tanah tersebut untuk diperdagangkan dan mengembangkan harta mulailah dihitung haulnya, jika telah sempurna haulnya (sejak dia niatkan) maka saat itulah wajib atasnya zakat.” (Fatawa Arkanil Islam hal. 433)

Pendapat tidak wajibnya zakat ‘urudh tijarah dan dalil-dalilnya
Setelah kita melihat dalil-dalil jumhur dalam masalah zakat ‘urudh tijarah, tiba saatnya kita melihat dalil-dalil ulama yang melihat tidak wajibnya zakat tersebut. Pendapat ini diikuti oleh Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Hazm, dan diriwayatkan dari Al-Imam Malik.9
Kepada jumhur ulama dikatakan, bagaimana kalian mewajibkan zakat atas ‘urudh tijarah? Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatasi zakat pada jenis-jenis harta tertentu, yaitu emas, perak, hewan ternak (unta, sapi, kambing, dan hasil bumi (gandum dan kurma)? Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فِيمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ، وَلَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسِ ذُودٍ مِنَ الْإِبِلِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat atas (gandum dan kurma) yang kurang dari lima wasaq, dan tidak ada zakat atas unta yang kurang dari lima ekor.”10
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatasi jenis-jenis harta yang diwajibkan atasnya zakat. Oleh karenanya, tidak ada zakat pada jenis-jenis lain seperti kuda atau budak. Bahkan ini adalah nash dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
لَيْسَ عَلَى الْـمُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَغُلَامِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada atas seorang muslim zakat bagi kuda dan budaknya.”11
Jumhur menjawab: Kami memandang bahwa hadits-hadits di atas tidak meniadakan adanya zakat ‘urudh tijarah.
Hadits-hadits tersebut hanya menunjukkan pembatasan wajibnya zakat dilihat dari dzat (jenis harta) yaitu unta, sapi, kambing serta hasil panen berupa kurma dan gandum, namun tidak menafikan zakat yang melihat nilai/harga barang dan bukan jenis barangnya.
Sebagai contoh, seorang memiliki jenis hewan ternak yaitu unta sebanyak empat ekor, maka pada unta ini tidak ada kewajiban zakat meskipun nilai/harganya melebihi nishab emas atau perak, karena dalam zakat hewan ternak, yang dilihat adalah dzat (jenis) dan bukan nilai/harga barang.
Demikian pula seandainya seorang memiliki hewan-hewan ternak kambing ternak 25 ekor, unta 3 ekor, dan sapi 10 ekor, tidak ada zakat atasnya, meskipun jika semuanya digabung tentu melebihi nilai nishab emas dan perak.
Berbeda dengan zakat ‘urudh tijarah. Zakat ini tidak melihat dzat/jenis barangnya akan tetapi melihat nilai/harga dari barang dagangan tersebut. Sehingga dipahami bahwa zakat ‘urudh tijarah adalah bentuk zakat lain. Maka zakat ‘urudh tidak termasuk yang dinafikan hadits-hadits di atas. Allahu a’lam.
Zakat ‘urudh ditetapkan dengan dalil-dalil lain yang telah kami (jumhur) kemukakan, oleh karena itu zakat ‘urudh tijarah tidak masuk dalam penafian. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
لَيْسَ فِي الْعُرُوضِ زَكَاةٌ إِلَّا مَا كَانَ لِلتِّجَارَةِ
“Tidak ada zakat pada barang-barang (dari selain yang ditetapkan nash) kecuali apa yang diperjualbelikan.”12
Tentang hadits tidak adanya zakat pada kuda, jumhur ulama mengatakan: “Maksud dari kuda yang tidak ada zakatnya adalah kuda yang disiapkan untuk dipakai –dan ini tidak ada khilaf–. Berbeda dengan kuda yang diperjualbelikan, maka zakat ‘urudh tijarah ditetapkan pada kuda-kuda tersebut dengan dalil lain, di antaranya ijma’. Dan di atas inilah ahlul ilmi berpendapat.
At-Tirmidzi (209-279 H) berkata: “Hadits Abu Hurairah hadits hasan shahih, dan di atas inilah ahlul ilmu beramal, bahwasanya tidak ada zakat atas kuda peliharaan, demikian pula budak-budak jika digunakan untuk khidmah (melayani/ sebagai pembantu). Adapun jika untuk tijarah (diperjualbelikan) maka ada zakat atas harga mereka jika telah genap haulnya.” (Sunan At-Tirmidzi 3/15)
Demikian perkataan At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
لَيْسَ عَلَى الْـمُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَلَا فِي عَبْدِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada atas seorang muslim zakat bagi kuda dan budaknya.”

Dalil Kedua: Kami tidak menetapkan zakat ‘urudh tijarah, berpegang pada bara’ah ashliyyah, yaitu pada asalnya harta seorang muslim terjaga dan tidak boleh diambil kecuali dengan dalil syar’i.
Sementara itu kita tidak temukan adanya dalil shahih yang marfu’ dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara sharih (jelas) mewajibkan zakat ‘urudh tijarah.
Hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu demikian pula hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu yang merupakan nash dalam masalah zakat ‘urudh tijarah, keduanya lemah dan tidak sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka seharusnya dalam masalah harta kaum mukminin, kita kembali kepada hukum asal yaitu terjaganya harta mereka, sebagaimana ditunjukkan dalam khutbah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat haji wada’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، لِيَبْلُغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ ...
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, kehormatan-kehormatan kalian di antara kalian haram, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir…” (Muttafaqun ‘alaih)
Jumhur menjawab bahwa dalil-dalil yang kami kemukakan cukup untuk menetapkan disyariatkannya zakat ‘urudh tijarah.
Demikian beberapa dalil pendapat kedua dan munaqasyah (tanggapan) jumhur. Jawaban-jawaban atas dalil-dalil jumhur dapat dilihat lebih lanjut pada munaqasyah Ibnu Hazm atas dalil-dalil jumhur dalam kitabnya Al-Muhalla.

Khatimah
Adalah Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, beliau merajihkan pendapat jumhur. Di antara yang sering beliau ucapkan dalam majelis beliau bahwa zakat tijarah adalah ijma’ (kesepakatan) tujuh fuqaha’ Madinah di masa tabi’in. Mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyab, ‘Urwah bin Az-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, Kharijah bin Zaid, Sulaiman bin Yasar, dan Abu Salamah bin Abdirrahman bin ‘Auf.
Pembaca rahimakumullah, ada kecenderungan hati untuk menguatkan pendapat jumhur, pendapat yang diikuti kibarut tabi’in sebagai generasi terbaik sesudah sahabat. Terlebih lagi, ini adalah pendapat Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbas g, dan sepertinya tidak ada riwayat sahabat lain yang menyelisihinya –wal ‘ilmu ‘indallah– bahkan dinukilkan ijma’.
Adapun bagi mereka yang tidak berpendapat akan wajibnya zakat perdagangan, hendaknya memperbanyak sedekah tanpa ukuran yang ditetapkan.
Sedekah tersebut dikeluarkan sesuai dengan kerelaan sebagaimana ditunjukkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan para pedagang mengeluarkan sedekah –secara mutlak (bebas)– dari harta perdagangannya. Sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya dari sahabat Qais bin Abi Gharzah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِِنَّ الشَّيْطَانَ وَالْإِثْمَ يَحْضُرَانِ الْبَيْعَ فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ
“Wahai sekalian pedagang, sesungguhnya setan dan dosa menghadiri jual beli, maka padukanlah jual beli kalian dengan bersedekah.” (Shahih, diriwayatkan At-Tirmidzi dalam As-Sunan [3/514], beliau berkata: “Hadits Qais bin Abi Gharzah radhiyallahu ‘anhu adalah hadits yang hasan shahih.”)13

Peringatan Penting
Apa yang kita bahas mengenai zakat ‘urudh tijarah, mengingatkan kita akan satu pendapat aneh yang dibanggakan sebagian manusia saat ini. Mereka mewajibkan zakat atas seluruh barang kekayaan yang dimiliki seorang meskipun bukan barang dagangan.
Mereka datangi pemilik harta lalu menghitung seluruh kekayaan yang dimiliki berupa rumah tempat tinggal, mobil, motor, sepeda, bahkan perabot rumah tangga berupa karpet, perkakas dapur, gelas, panci, dan semua yang dimiliki berupa barang-barang yang digunakan sehari-hari tidak luput dari perhitungan. Barang-barang tersebut didata lalu dihargai dengan nilai uang untuk kemudian dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 persen.
Subhanallah, ketahuilah sesungguhnya zakat yang seperti ini tidak dikenal dalam Islam.
Mereka berdalil dengan keumuman dalil seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (At-Taubah: 103)
Mereka berkata: “Perabot rumah tangga dan seluruh yang dimiliki juga termasuk harta yang disebutkan secara umum dalam ayat ini, maka wajib juga diambil zakatnya.”
Kepada mereka kita katakan, bahwa pendapat ini menyelisihi sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti:
لَيْسَ عَلَى الْـمُسْلِمِ فِي فَرَسِهَ وَغُلَامِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada atas seorang muslim zakat bagi kuda dan budaknya.”
Juga sabda-sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya.
Sesungguhnya pendapat ini telah keluar dari kesepakatan kaum muslimin dalam masalah zakat, dan pelakunya telah mengambil harta yang maksum tanpa hak, dan ini haram. Allahul Musta’an.
Berbeda dengan zakat ‘urudh tijarah, zakat ini adalah zakat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah dan ulama mereka, dan masyhur di tengah salaf, yakni sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in.
Wallahu ta’ala a’lam, washalallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

1 Beliau adalah sahabat yang mulia, Samurah bin Jundub bin Hilal Al-Fazari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, meninggal tahun 58 H.
2 “Maqbul” menunjukkan dha’ifnya rawi. Ini adalah istilah Ibnu Hajar rahimahullahu dalam At-Taqrib. Maksud ucapannya “Maqbul” yaitu: “Maqbulun haitsu yuttaba’ wa illa fa layyinul hadits.” (Diterima jika didukung, jika tidak hadisnya lemah)
3 Tetapi perlu di sini kita ingatkan bahwa bukan berarti semua hukum Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqah tidak bisa dipakai dan dinyatakan beliau tasahul. Ada rincian sebagaimana dapat dilihat dalam pembahasan ilmu musthalah. Di antaranya apa yang disebutkan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi rahimahullahu dalam kitabnya At-Tankil (1/437-438). Silakan dilihat pembahasannya di sana.
4 HR. Al-Hakim (1/388), dan dihasankan Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Ad-Dirayah (1/260). Tapi yang benar, sanad hadits ini dha’if karena di dalamnya ada Musa bin ‘Ubaidah, seorang yang dha’if. Dalam sanad Al-Hakim rahimahullahu, memang tidak tertulis Musa bin ‘Abidah, kesalahan ini dari Al-Hakim. Atas dasar sanad Al-Hakim inilah –wallahu a’lam– Al-Hafizh menghasankannya. Dan beliau memiliki udzur dalam penghasanan hadits. (Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, 3/323-326 no. 1178)
5 جِعَابٌ bentuk jamak dari جَعْبَةٌ yaitu busur yang digunakan untuk melempar anak panah. Lihat An-Nihayah (1/274).
6 Diriwayatkan Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam Al-Musnad no. 633, Ad-Daruquthni rahimahullahu dalam As-Sunan (2/125), Al-Baihaqi rahimahullahu dalam Al-Kubra (4/247). Atsar ini dha’if, karena Abu ‘Amr bin Himas dan bapaknya, Himas, keduanya majhul (tidak dikenal).
7 Diriwayatkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam Al-Umm, juga Al-Baihaqi rahimahullahu (4/147) dan dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah hal. 364.
8 Atsar maqthu’ ini dikeluarkan oleh Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Al-Muwaththa’ (1/205-206) dengan sanad yang shahih.
9 Pendapat ini diikuti dan dikuatkan Asy-Syaukani, lihat Ad-Durarul Bahiyah (hal. 50), Shiddiq Hasan Khan, lihat Ar-Raudhah An-Nadiyah (1/192), Al-Albani, dan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah.
10 HR. Al-Bukhari dalam Kitab Az-Zakat (3/326-327, dengan syarah Fathul Bari) dan Muslim (2/65 no. 982).
11 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
12 Lihat catatan kaki no. 7
13 Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabarani rahimahullahu dalam Al-Kabir (18/357) no. 913 dan dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Misykah no. 2798.

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=884

0 komentar:

Posting Komentar

Design by JokoRowoTlogoRejo Islam itu Indah I Love Islam