Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh-1
IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (1/10)Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme oleh Jalaluddin Rakhmat 1. FIQH AL-KHULAFA' AL-RASYIDIN: FIQH PENGUASA Seorang laki-laki datang menemui 'Umar bin Khathab: "Sayadalam keadaan junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannyauntuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak. 'Umar menjawab, "Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air."'Ammar bin Yasir berkata pada 'Umar bin Khathab: "TidakkahAnda ingat. Dulu --engkau dan aku-- pernah berada dalamperjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat,sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikankejadian ini kepada Rasulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplahbagi kamu berbuat demikian." Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar: "Ya Ammar, takutlahpada Allah", Kata Ammar, "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkauinginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkauhidup." [1] "Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar, [2] "Aku melihat memanglebih baik tidak meriwayatkan hadits ini ketimbangmeriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh,aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah." Sejak itu, 'Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. 'Umartetap berpegang teguh pada pendapatnya -- orang junub, bilatidak ada air, tidak perlu shalat. "Wa hadza madzab masyhur'an 'Umar," kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapatUmar, kecuali Abdullah bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatatperdebatan Abdullah bin Mas'ud dengan Abu Musa al-Asy'aritentang kasus ini pada hadits No. 247. Abu Musa menentangpendapat Abdullah --sekaligus madzhab Umar-- dengan mengutipayat ("jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamumdengan tanah yang baik"). Menarik untuk dicatat bahwa kelakdengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkanmazhab 'Umar. Lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajarandari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi perbedaan pahamdi antara sahabat dalam masalah fiqhiyah Kedua, lewatkekuasaan, 'Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasipendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikaphiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat Dankeempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besarpada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya Karena itu membicarakan fiqh para sahabat menjadi sangatpenting sebagai pijakan bagi pembahasan masalah fiqh mutakhir.Saya akan memulai makalah ini dengan membahas urgensi fiqhsahabat dalam keseluruhan pemikiran fiqhiyah. Setelah itu,saya akan menjelaskan sebab-musabab timbulnya ikhtilaf fiqh diantara para sahabat, karakteristik fiqh sahabat, dancontoh-contoh fiqh al-khulafa al-rasyidin. URGENSI FIQH SAHABAT Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalamkhazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat --sebagaimanadidefinisikan ahli hadits-- adalah orang yang berjumpa denganRasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. [3]Dari makalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, darimereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim. Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnyamasa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila padazaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya ataumengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah,pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementaraitu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islamdengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalahbaru. Dan para sahabat merespon situasi ini denganmengembangkan fiqh (pemahaman) mereka. Ketika menceritakanijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: [4] Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash. Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsipumum dalam mengambil keputusan hukum (istinbath; al-hukm.);yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh. Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harusdiamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.Al-Syathibi [5] menulis, "Sunnah sahabat r.a. adalah sunnahyang harus diamalkan dan dijadikan rujukan." Dalamperkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat --sebagai ucapan danperilaku yang keluar dari para sahabat-- akhirnya menjadisalah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas,mashalih mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadihujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagianmenganggaprlya sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagaihujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya hanyamenganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja,berdasarkan hadits ("berpeganglah pada dua orang sesudahku,yakni Abu Bakar dan Umar"); dan sebagian yang lain,berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatankhulafa' al-Rasyidin. [6] Terakhir keempat, ini yang terpenting, ahl al-Sunnah sepakatmenetapkan bahwa seluruh sallabat adalah baik (al-shahabiykulluhum 'udul). Mereka tak boleh dikritik, dipersalahkan,atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain. Imam ahli jarhdan ta'dil, Abu Hatim al-Razi dalam pengantar kitabnyamenulis: [7] Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dar ta'wil, yang dipilih Allah untuk- menemani Nabi-Nya, untuk menolongnya, menegakkan agamanya, memenangkan ke benarannya... Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka dibersikkan dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka sebagai 'udul al-ummah (umat yang paling bersih)... Merekalah 'udul al-ummah, pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama, dan pembawa al-Qur'an dan al-'Sunnah. Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankanbila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembanganfiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatanahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling pentingadalah khulafa al-rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapatmereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh; bila merekaikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulitdiatasi. Lalu mengapa mereka ikhtilaf? PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalahprosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidakterjadi pada zaman Rasulullah saw. Sementara itu, setelahRasulullah wafat, putuslah masa tasyi'. Menghadapimasalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8] Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkanhukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelahRasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah,menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untukmenyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukumAllah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masaberhentinya wahyu, karena mereka tahu betul --tugas merekaadalah mengacu pada Ma'shumun. Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yangditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintahIlahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarikhukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul dimasyarakat. Kelompok ini --kelak disebut Ahl al-Sunnah--ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyakhal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakanmetode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan. Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecualiAli bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakanra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash.Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertamadalil naqli. Umar pernah melarang hajji tamattu', padahalal-Qur'an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. KetikaUtsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannyadi depan Utsman. Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukantamattu, dan engkau sendiri melakukannya. Ali menjawab: Akutak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karenapendapat seseorang. [9] Setelah perdebatan ini, menurutriwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata:Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mauboleh menjalankannya; siapa yang tak mau bolehmeninggalkannya. [10] Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr.Rasulullah saw. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abdal-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya40 kali. Rasulullah saw. menetapkan thalaq tiga dalam satumajlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umarmenetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umarmemutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Alimembebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13] Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antaraketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkanperbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatuyatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikanberbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru"itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci diantara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan"al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utual-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umarmengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish)dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsmantampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikahdengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanitaYahudi dari Syam. [15] Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karenaperbedaan pengetahuan yang mereka miiiki. Sebagian sahabat,misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidakmengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salahketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. TetapiUmar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy Anda tahusaya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membacaayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah YaUmar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidakada; ketika saya diundang, Anda tidak. [16] Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satusebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17] Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian lagi hadir. Setiap orang hanya mcngetahui apa yang ia saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua bulan. Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah. Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak diketahui Abu Musa. Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif.Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab,masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid binTsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan denganmandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang danUmar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kauberfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri? Kata Zaid: "YaAmir al-Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi akumendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan -- danAbi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. KataUmar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalianberbuat demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kaliandan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kamimelakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayatyang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullahsaw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" KataRafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin danAnshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlumandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika keduakhitan bertemu, wajib mandi." Kata Umar: "Kaliansahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagiorang-orang setelah kalian!" Kata Ali, Ya Amir al-Mu'minin:"tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteriRasulullah saw. Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah.Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bilakhitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bilaada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidakkeluar, aku akan pukul dia." [18] Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara parasahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkanmenetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda.Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabatitu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buatorang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadisumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilafini adalah assets bagi perkembangan pemikiran. 'Umar bin Abdal-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukanpada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabatNabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal,sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yangdiikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka,jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagimanusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidakmembukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allahmemberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i diantara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasukiRahmat-Nya." [19]
---------------------------------------------------------- bersambung.....
Sumber... http://media.isnet.org
Label:
Hukum Dan Hadist
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar