Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh-3







 
IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (3/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

Sebenarnya, sebelum Dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak,
bahkan sedikit sekali sahabat yang keluar dari Madinah. Umar
bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang
mereka meninggalkan kota itu. Pertama, 'Umar ingin mengambil
manfaat dari pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan
alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam
pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah, mereka diizinkan
keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha. Juga bukan
sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar,
seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, dan
lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibn
Mas'ud di Iraq, Abdullah ibn 'Umar serta ayahnya Al-Faroq,
Zaid ibn Tsabit dan lain-lain di Madinah.

Kebanyakan, menurut Abu Zahrah, murid-murid sahabat itu para
mawali (non Arab). Fiqh tabi'in, karena itu, umumaya fiqh
mawali. Dari sahabat, para tabi'in mengumpulkan dua hal:
Hadits-hadits Nabi saw dan pendapat-pendapat para sahabat
(aqwal al-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat
pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti atau
dengan metode yang dilakukan para sahabat. Banyak diantara
tabi'in yang mencapai faqahah (kefaqihan) begitu rupa sehingga
sahabat (sic!) berguru pada mereka. Qabus ibn Abi Zhabiyan
berkata: Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan
mendatangi 'Alqamah. Ayahku menjawab Aku menemukan
sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada 'Alqamah dan meminta
fatwanya. Ka'ab al-Ahbar sering dimintai fatwa oleh Ibn Abbas,
Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Amr. 'Alqamah dan Ka'ab
keduanya tabi'in.

Ada tujuh orang faqih tabi'in yang terkenal (al-fuqaha
al-sab'ah): Sa'id ibn Musayyab (wafat 93 H), 'Urwah ibn
al-Zubair (wafat 94 H), Abu Bakar ibn 'Abid (wafat 94 H),
Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar (Wafat 108 H), Abidullah
ibn Abdillah (wafat 99 H), Sulayman ibn Yasar (wafat 100 H)
dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (wafat?). Di samping mereka
ada 'Atha ibn Abi Rabah, Ibrahim al-Nakh'i, Al-Syu'bi, Hamad
ibn Abu Sulayman Salim mawla Ibn Umar, dan 'Ikrimah mawla Ibn
Abbas.

BUKTI-BUKTI MANIPULASI HADITS

Di sini tidak ditunjukkan manipulasi hadits kecuali seperti
tampak pada kitab-kitab hadits yang ada sekarang. Dari situ
paling tidak kita melihat petunjuk (indikator) manipulasi
hadits pada zaman tabi'in. Contoh-contoh yang diberikan di
sini difokuskan pada manipulasi yang diduga beralasan politis.
Ada beberapa cara manipulasi hadits, antara lain sebagai
berikut.

Pertama, membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan
kata-kata yang tidak jelas. Ketika Marwan menjadi Gubernur
Mu'awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid.
Abd al-Rahman ibn Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata.
"Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan
Heraclius!". Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd
al-Rahman. Ia lari ke kamar 'Aisyah ra, saudaranya. Marwan
berkata: Ayat al-Qur'an: alladzi qala liwalidaihi uffin lakum
turun tentang Abd al-Rahman. 'Aisyah menolak asbab al-nuzul
ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan Abd al-Rahman dengan
mengatakan faqaala 'Abd al-Rahman ibn 'Abi Bakar syai'an (Abd
al-Rahman mengatakan sesuatu). [53] Dengan cara itu, kecaman
kepada Mu'awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan
Khalifah dan Gubernurnya terpelihara. Dalam tarikhnya,
al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi saw tentang Ali: "Inilah
washihu dan khalifahku untuk kamu". Kata-kata ini dalam Tafsir
al-Thabari dan Ibn Katsir diganti dengan: wa kadza wa kadza
(demikianlah-demikianlah). Tentu saja kata "washi"dan
"khalifah" mempunyai konotasi yang sangat jelas. [54]

Kedua, membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk
adanya penghilangan itu. Muhammad ibn Abu Bakar menulis surat
kepada Mu'awiyah menjelaskaan keutamaan Ali sebagai washi Nabi
saw. Mu'awiyah pun mengakuinya. Isi surat ini secara lengkap
dimuat dalam Kitab Shiffin dari Nashr bin Mazahim (wafat 212
H) dan Muruj al-Dzahab tulisan al-Mas'udi (wafat 246 H).
Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan
menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia
membuang semua isi surat itu dengan alasan "supaya orang
banyak tidak resah mendengarkannya." Ibn Atsir dalam
Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu
dengan mengemukakan alasan yang sama. [55]

Ketiga, memberikan makna lain (ta'wil) pada hadits. Al-Dzahabi
ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis, ketika al-Nasai
diminta meriwayatkan keutamaan Mu'awiyah, ia berkata, "hadits
apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi, semoga Allah
tidak mengenyangkan perut Mu'awiyah". Kata Al-Dzahabi:
Barangkali yang dimaksudkan dengan keutamaan Mu'awiyah ini
adalah ucapan Nabi saw: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau
aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan
rahmat baginya. [56] Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi
kesucian dan rahmat; tetapi Bukhari dan Muslim memang
meriwayatkan hadits ini. [57] Al-Thabrani dalam Majma'
al-Zawaid meriwayatkan ucapan Rasulullah saw kepada Salman
bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberi komentar: Ia
menjadikan washi untuk keluarganya, bukan untuk Khalifah.

Keempat, membuang sebagian isi hadits tanpa menyebutkan
petunjuk ke situ atau alasan. Ibn Hisyam mendasarkan tarikhnya
pada tarikh Ibn Ishaq. "Tetapi aku tinggalkan sebagian riwayat
Ibn Ishaq yang jelek bila disebut orang", kata Ibn Hisyam
dalam pengantarnya. Di antara yang dibuang itu adalah kisah
"wa andzir 'asyirataka al-aqrabin". Dalam Ibn Ishaq
diriwayatkan Nabi saw berkata; "Inilah saudaraku, washiku, dan
khalifahku untuk kamu." [58] Belakangan ini Muhammad Husayn
Haykal, dalam Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada
bukunya, cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi: Siapa yang
akan membantuku dalam urusan ini supaya menjadi saudaraku,
washiku dan Khalifahku untuk kamu. Pada Hayat Muhammad,
cetakan kedua (Tahun 1354), ucapan Nabi saw ini dihilangkan
sama sekali.

Kelima, melarang penulisan hadits Nabi saw. Berkenaan dengan
ini bagian "Fiqh al-Khulafa' al-Rasyidin" di atas. Beberapa
tabi'in juga melarang penulisan hadits.

Keenam, mendha'ifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan
penguasa atau yang menunjang keutamaan lawan. Ibn Katsir
mendha'ifkan riwayat Nabi tentang Ali sebagai Washi. Ia
menganggap riwayat itu sebagai dusta, yang dibuat-buat oleh
orang Syi'ah, atau orang-orang yang bodoh dalam ilmu hadits.
[69] Ia lupa bahwa hadits ini diriwayatkan dari banyak sahabat
Nabi oleh Imam Ahmad, Al-Thabari, Al-Thabrani, Abu Nu'aim
al-Isbahani, Ibnu 'Asakir dan lain-lain. Al-Syu'bi
meriwayatkan hadits dari Al-Harits al-Hamdani. Ia berkata:
menyampaikan padaku Al-Harits, salah seorang pendusta. Ibn Abd
al-Barr mengomentari ucapan al-Syu'bi: Ia tidak menjelaskan
apa alasan dusta untuk Al-Harits. Ia membenci Al-Harits karena
kecintaannya yang berlebihan pada Ali dan mengutamakan Ali di
atas sahabat yang lain. Karena itu, wallahu a'lam, Al-Syu'bi
mendustakan Al-Harits; Al-Syuibi mengutamakan Abu Bakar, dan
bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam.

3. Lahirnya Madzhab-madzhab Fiqh

Ketika al-Manshur baru saja diangkat menjadi khalifah, ia
mengundang Malik ibn Anas, Ibn Sam'an dan Ibn Abi Dzuaib. Ia
dikawal para prajurit dengan pedang-pedang terhunus. Setelah
berbicara panjang, Khalifah bertanya. "Bagaimana pendapat
kalian tentang diriku? Apakah aku pemimpin adil atau zalim?"
Malik bin Anas berkata: "Ya Amiral Mu'minin, aku tawassul
padamu dengan Allah swt dan aku meminta tolong padamu dengan
Muhammad saw dan dengan kekeluargaanmu padanya, maafkanlah aku
untuk tidak berbicara." "Aku maafkan Anda", kata al-Manshur.

Kemudian ia melirik kepada Ibn Sam'an: "Bagaimana pendapat
kamu?" Kata Ibn Sam'an: "Anda, demi Allah, orang yang paling
baik. Demi Allah, ya Amir al-Mu'minin, Anda berhaji ke
Baitullah; Anda perangi musuh; Anda berikan keamanan di jalan;
Anda lindungi orang yang lemah supaya tidak dimakan yang kuat.
Andalah tonggak agama, orang terbaik, dan umat teradil."

Kemudian al-Manshur melirik Ibn Abi Dzuaib. "Atas nama Allah
bagaimana pendapatmu tentang diriku?" Yang ditanya menjawab,
"Menurut pendapatku, Anda manusia terjahat, demi Allah. Anda
merampas harta Allah, RasulNya, dan bagian keluarga Rasul,
anak yatim, dan orang miskin. Anda hancurkan yang lemah, Anda
persulit orang yang kuat. Anda tahan harta mereka. Apa
alasanmu di hadapan Allah nanti?"

"Celaka kamu, tidakkah kamu lihat apa yang ada dihadapanmu?"
kata al-Manshur. "Benar, aku lihat pedang dan itu berarti
kematian. Bagiku sama saja apakah mati itu dipercepat atau
diperlambat."

Peristiwa di atas, yang dikisahkan Ibn Qutaybah. menunjukkan
posisi Malik ibn Anas dibandingkan ulama yang sezaman
dengannya. Ibn Abi Dzuaib, nama lengRapnya Abu al-Harit
Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn al-Mughirah ibn Dzuaib
al-'Amiri, adalah seorang alim yang terkenal faqih dan wara.
Menurut al-Dahlawi, di samping Malik, Ibn Dzuaib adalah orang
yang membukukan hadits di Madinah. Tapi, namanya hampir tidak
pernah disebut dalam buku-buku tarikh. Ia lebih berani, dan
boleh jadi lebih faqih dari Malik. Namun sekarang hampir tidak
ada orang yang mengenalnya.

Sejarah memang hanya memihak yang menang. Fame bestows no
favors upon the losers. Malik bin Anas kelak terkenal sebagai
pendiri madzhab Maliki, dengan para pengikut yang tersebar di
berbagai bagian dunia Islam. Ibn Dzuaib, tentu saja tidak
dikenal. Imam Malik menjadi terkemuka setelah al-Manshur
memberikan segala kehormatan kepadanya. Ketika naik haji,
al-Manshur berkata kepada Malik: "Saya punya rencana untuk
memperbanyak kitab yang kau susun ini, yaitu saya salin, dan
kepada setiap wilayah kaum Muslim saya kirim satu naskah,
serta saya instruksikan agar mereka mengamalkan isinya
sehingga mereka tidak mengambil yang lain." Begitu pula,
ketika Harun al-Rasyid berkuasa, ia bermusyawarah dengan Malik
untuk menggantungkan al-Muwaththa pada Ka'bah dan
memerintahkan orang untuk beramal menurut Kitab itu. Walau
Malik menolak rencana kedua khalifah itu, kita tahu bahwa
Malik didukung para penguasa.

Masih sezaman dengan Malik dan bahkan Malik pernah berguru
kepadanya, adalah faqih dari keluarga Rasulullah saw, Ja'far
al-Shadiq. Ia pun hampir tidak dikenal kecuali pada kalangan
pengikutnya saja. Malik berkata tentang Ja'far: "Aku pernah
berguru pada Ja'far bin Muhammad beberapa waktu. Aku tidak
pernah melihatnya kecuali dalam salah satu di antara tiga
keadaan: sedang shalat, sedang puasa, atau sedang membaca
al-Qur'an. Tidak pernah aku lihat ia meriwayatkan hadits dari
Rasulullah kecuali dalam keadaan suci. Ia tak bicara sesuatu
yang tak manfaat, dan ia termasuk ulama yang taat beribadah,
zuhud, yang hanya takut kepada Allah saja." Sifat terakhir ini
justru menyebabkan Ja'far tidak disenangi penguasa. Fiqhnya
"dicurigai" dan para pengamalnya dianiaya.

Seperti akan kita uraikan nanti, sebetulnya banyak madzhab
muncul, tetapi karena tidak didukung penguasa, madzhab-madzhab
itu akhirnya hilang dari catatan sejarah. Dalam tulisan ini
kita akan mencatat beberapa orang tokoh madzhab yang
terlupakan. Tapi sebelum itu, kita akan meninjau latar
belakang historis dari tumbuhnya madzhab-madzhab fiqh. Pada
akhir bagian ini kita akan membicarakan "pokok dan tokoh"
madzhab yang masih memiliki banyak pengikut sampai sekarang.

SEJARAH PEMBENTUKAN MADZHAB

Kelima Madzhab yang akan kita bicarakan -Ja'fari, Maliki,
Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali-- tumbuh pada zaman kekuasaan
dinasti Abbasiyah. Pada zaman sebelum itu, bila orang
berbicara tentang madzhab, maka yang dimaksud adalah madzhab
di kalangan sahabat Nabi: Madzhab Umar, Aisyah, Ibn Umar, Ibn
Abbas, Ali dan sebagainya. Para sahabat dapat dikelompokkan
dalam dua besar. Yaitu ahl al-Bayt dan para pengikutnya, juga
para sahabat di luar ahl al-Bayt. Ali dan kedua puteranya, Abu
Dzarr, Miqdad, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Rafi Mawla
Rasulullah, Ummi Salamah, dan sebagainya, masuk kelompok
pertama. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Abu
Hurairah dan lain-lain masuk kelompok kedua.

Murtadha al-'Askary menyebut dua madzhab awal ini sebagai
Madrasah al-Khulafa dan Madrasah Ahl al-Bayt. Kedua madrasah
ini berbeda dalam menafsirkan al-Qur'an, memandang sunnah
Rasulullah, dan melakukan istinbath hukum. Pada zaman
kekuasaan dinasti Umawiyyah, madrasah al-Khulafa bercabang
lagi ke dalam dua cabang besar: Madrasah al-Hadits dan
Madrasah al-Ra'y. Yang pertama, berpusat di Madinah,
melandaskan fiqhnya pada al-Qur'an, al-Sunnah dan Ijtihad para
sahabat, dan sedapat mungkin menghindari ra'yu dalam
menetapkan hukum. Yang kedua, berpusat di Iraq, sedikit
menggunakan hadits dan lebih banyak berpijak pada penalaran
rasional dengan melihat sebab hukum (illat) dan tujuan syara'
(maqashid syar'iyyah).

Sementara itu, Madrasah ahl al-Bayt tumbuh "di bawah tanah"
mengikuti para imam mereka. Karena tekanan dan penindasan,
mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk
memelihara fiqh mereka. Ibn Qutaybah dalam Kitab al-Ikhtilaf
menceritakan bagaimana raja-raja Umawiyyat berusaha
menghapuskan tradisi ahl al-Bayt dengan mengutuk Ali bin Abi
Thalib di mimbar-mimbar, membunuh para pengikut setianya, dan
mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ahl al-Bayt. Tidak
jarang sunnah Rasulullah yang sahih ditinggalkan karena sunnah
itu dipertahankan dengan teguh oleh para pengikut ahl al-Bayt.

Ibn Taymiyyah menulis perihal tasyabbuh dengan syiah: "Dari
sinilah para fuqaha berpendapat untuk meninggalkan
al-mustahabbat (yang sunat) bila sudah menjadi syiar
orang-orang Syi'ah. Karena walaupun meninggalkannya tidak
wajib menampakkannya berarti menyerupai (tasyabbuh) mereka,
sehingga sunni tidak berbeda dengan syi'ah. Kemaslahatan
berbeda dengan mereka dalam rangka menjauhi dan menentang
mereka lebih besar dari kemaslahatan mengamalkan yang musthab
itu." Salah satu contoh sunnah yang dijauhi orang adalah
tasthih seperti diceritakan oleh Muhamamd bin 'Abd al-Rahma
yang berkata: "Yang sunnah dalam membuat kubur adalah
meratakan permukaan kubur (tasthith). Inilah yang paling kuat
menurut madzhab Syaf'i. "Tapi Abu Hanifah dan Ahmad berkata:
"Menaikkan permukaan kubur (tasnim) lebih baik, karena tasthih
sudah menjadi syi'ar sy'iah."

----------------------------------------------------bersambung....
Sumber... http://media.isnet.org

0 komentar:

Posting Komentar

Design by JokoRowoTlogoRejo Islam itu Indah I Love Islam